BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pancasila adalah dasar falsafah
Negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18
Agustus 1945 dan tercantum dalam pembukaan UUD 1945, di Undangkan dalam Berita
Republik Indonesia tahun 11 No. 7 bersama-sama dengan batang tubuh UUD 1945
Dalam perjalanannya, sejarah
eksisitensi pancasila sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia
mengalami berbagai macam interpretasi dan menipulasi politik sesuai dengan
kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung di balik
legitimasi ideology Negara pancasila dengan kata lain pancasila hanya sebagai
symbol formalitasnya saja namun tidak difungsikan sebagaimana fungsi yang harus
dijalankan dan tidak lagi diletakkan sebagai dasar filsafat serta pandangan
hidup. Pada hal secara historisnya pancasila sudah melalui proses yang panjang
dan rumit terkait keberadaanya sebagai ideology nasional dasar dalam kehidupan
berpolitik bangsa kita.
Untuk lebih jelas mengenai hal yang
dimaksud marilah sama-sama kita simak pada bab selanjutnya mengenai Pancasila
Sebagai Ideologi Nasional.
|
BAB
II
PEMBAHASAN
PANCASILA
SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL
A. PENGERTIAN IDEOLOGI
Ideologi berasal dan kata Yunani
Idein, yang berarti melihat, atau Idea yang berarti raut muka, perawakan,
gagasan, buah pikiran, dan Logia yang berarti ajaran.
Dengan demikian Ideologi adalah
ajaran atau ilmu tentang gagasan dan buah pikiran (Science des ideas).
Di dalam ensikiopedi populer Politik
Pembangunan Pancasila, ideologi merupakan cabang filsafat yang mendasari
ilmu-ilmu seperti etika dan politik.
B. IDEOLOGI DALAM ARTI PRAKTIS
Ialah kesatuan gagasan-gagasan dasar
yang disusun secara sistematis dan dianggap menyeluruh tentang manusia dan
kehidupannya, baik yang individual maupun yang sosial.
C. PENERAPAN IDEOLOGI
Penerapan Ideologi dalam kehidupan
kenegaraan disebut “Politik”. Karena itu sering terjadi bahwa ideologi
dimanfaatkan untuk tujuan tertentu, misalnya: merebut kekuasaan.
Ideologi dalam kehidupan kenegaraan
dapat diartikan sebagai suatu konsensus mayorjtas warga negara tenrang
nilal-nilal dasar yang ingin diwujudkan dengan mendirikan negara. Dalam hal ini
sering juga disebut Philosofische Grondslag atau Weltan. Schauung yang
merupakan pikiran-pikiran terdalam, hasrat terdalam warga negaranya untuk di
atasnya didirikan suatu negara.
D. PENDAPAT-PENDAPAT PARA PAKAR TENTANG
IDEOLOGI
- Padmo Wahjono
Mengartikan ideologi sebagai
kesatuan yang bulat dan utuh dari ide-ide dasarnya.
Menurut pakar hukum tata negara ini
ideologi merupakan suatu kelanjutan atau konsekuensj daripada pandangan hidup
bangsa, falsafah hidup bangsa, dan akan berupa seperangkat tata nilai yang
dicita-citakan akan direalisir di dalam kehidupan berkelornpok.
Ideologi mengandung kegunaan untuk
memberikan stabilitas arah dalam hidup berkelompok dan sekaligus memberikan
dinamika gerak menuju tujuan masyarakat atau bangsa.
- Mubyarto
Pakar ekonomj mi mengartikan bahwa
ideologj adalah Sejumlah doktrin, kepercayaan dan simbol-simbol sekelompok
masyarakat atau satu bangsa yang menjadi pegangan dan pedoman karya (atau
perjuangan) untuk rnencapai tujuan masyarakat atau bangsa.
- M. Sastrapratedja
Pakar budaya ini mengartikan bahwa
ideologi ialah seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada
tindakan yang diorganisir suatu sistem yang teratur.
Dalam hubungan ini fungsi penting
ideologi antara lain adalah untuk membentuk identitas kelompok atau bangsa dan
fungsi mempersatukannya.
Ideologi
mempunyai kecenderungan untuk memisahkan in group (kita) dan out group
(mereka).
Bila dibandingkan dengan agama, yang
berfungsi mempersatukan orang dari berbagai pandangan, bahkan dari berbagai
ideologi, maka sebaliknya ideologi mempersatukan orang-orang dari berbagai
agama. Maka dari itu ideologi juga berfungsi untuk mengatasi berbagai konflik
atau ketegangan sosial menjadi solidarity making dengan mengangkat berbagai
perbedaan ke dalam tata nilai lebih tinggi.
Dalam fungsi pemersatuan dilakukan
dengan merelativir keseragaman atau keanekaragaman, misalnya dengan semboyan:
“kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan”, dan pada kasus
tertentu ideologi juga dapat menciptakan tata nilai lebih tinggi.
Menurut Soediman Kartohadiprodjo,
adanya semboyan tersebut telah menjadi salah saw ekspresi jiwa bangsa Indonesia
yang turun temurun, yang asas-asasnya terdapat dalam hukum adat.
- Soerjanto Poespowardojo
Seorang pakar sosiologi-budaya,
mengartikan ideologi adalah kompleks pengetahuan dan nilai, yang secara
keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami
jagatraya dan bumi seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengolahnya.
- Franz Magnis Suseno
Seorang pakar filsafat, mengartikan
ideologi dalam arti luas, dan dalam arti sempit.
Dalam arti luas, dan kurang tepat
istilah “ideologi” dipergunakan untuk segala kelompok cita-cita, nilai-nilai
dasar, dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman
normatif. Dalam arti ini keyakinan bahwa negara dan kesetiakawanan akan disebut
ideologi. Penggunaan kata “ideologi” ini oleh kebanyakan penulis dianggap tidak
tepat, bahkan menyesatkan. Apalagi pada banyak orang kata ideologi langsung
menimbulkan asosiasi negatif, Orang biasanya tidak rela cita-citanya disebut
ideologi. Tetapi karena dalam bahasa Indonesia, dengan mengikuti cara bicara
yang terutama ditemukan dalam negara-negara komunis (yang mengaku
Marxisme-Leninisme sebagai “ideologi” yang mereka banggakan), maka Franz Magnis
Suseno menggunakan kata ideologi sebagai sesuatu yang positif, yaitu sebagai
nilai-nilai dan cita-cita yang luhur, yaitu dalam arti sebagai “ideologi
terbuka”.
Dalam arti sempit dan sebenarnya
ideologi adalah gagasan atau teori menyeluruh tentang makna hidup dan
nilai-nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak. Ideologi dalam arti mi disebut “ideologi tertutup” karena
kemutlakannya tidak mengizinkan orang mengambil jarak terhadapnya. Secara
singkat, dengan ideologi tertutup dimaksud gagasan-gagasan tertentu yang
dimutlakkan.
Disamping kata “ideologi”, juga ada
kata “ideologis”. Kata ini selalu berkonotasi negatif dan tidak pernah dipakai
dalam arti “ideologi terbuka”. Setiap usaha untuk memutlakkan gagasan-gagasan
tertentu disebut ideologis. Biasanya kata “ideologis” sekaligus membawa
konotasi, bahwa gagasan-gagasan yang dimutlakkan itu sebenarnya menyelubungi
dan dengan demikian melindungi kepentingan-kepentingan kekuasaan tertentu.
E. KEKUATAN IDEOLOGI
Menurut Alfian, seorang pakar ilmu
politik, mengemukakan bahwa kekuatan suatu ideologi itu tergantung pada
kualitas 3 (tiga) dimensi yang ada pada ideologi itu sendiri.
a. Dimensi realita, yaitu bahwa
nilai-nilai dasar yang terkandung di dalarn ideologi tersebut secara riil
berakar dalam dan/atau hidup dalam masyarakat atau bangsanya, terutama karena
nilai-nilai dasar tersebut bersumber dan budaya dan pengalaman sejarahnya
(menjadi volkgeist/j iwa bangsa).
b. Dimensi Idealisme, yaitu bahwa
nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme yang memberi harapan
tentang masa depan yang lebih baik melalui pengalaman dalam praktik kehidupan
bersama sehari-hari dengan berbagai dimensinya.
c. Dimensi fleksbilitas/dimensi
pengembangan, yaitu ideologi tersebut memiliki keluwesan yang memungkinkan dan
merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan dengan ideologi
bersangkutan tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat atau jati din yang
terkandung dalam nilai-nilai dasarnya, dan menurut pakar ini Pancasila memenuhi
ketiga dimensi tersebut.
F. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
Pancasila sebagai ideologi
mencerminkan seperangkat nilai terpadu dalam kehidupan politiknya bangsa
Indonesia, yaitu sebagai tata nilai yang dipergunakan sebagai acuan di dalam
kehidupan berrnasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Semua gagasan-gagasan yang timbul
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ini di tata secara
sistematis menjadi satu kesatuan yang utuh,
Sebagai ideologi, Pancasila berlaku
sebagai pedoman dan acuan dalam menjalankan aktivitas di segala bidang, dan
karena itu sifatnya harus terbuka, luwes dan fleksibel, dan tidak bersifat
tertutup maupun kaku, yang akan menyebabkan ketinggalan zaman.
Pancasila telah memenuhi syarat
sebagai ideologi terbuka, hal ini dibuktikan dan adanya sifat-sifat yang
melekat pada Pancasila sendiri maupun kekuatan yang terkandung di dalamnya,
yaitu memenuhi persyaratan kualitas 3 (tiga) dimensi di atas.
Mengenai pengertian Pancasila
sebagai ideologi terbuka, bukanlah berarti bahwa nilai dasarnya dapat diubah
atau diganti dengan nilai dasar yang lain, karena bila dipahamkan secara
demikian (sebagai pemahaman yang keliru), hal itu sama artinya dengan
meniadakan Pancasila atau meniadakan identitas/ jati diri bangsa Indonesia. Hal
mana berlawanan dengan nalar dan tidak masuk akal.
Maka di dalam pengertian Pancasila
sebagai ideologi terbuka itu mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar daripada
Pancasila itu dapat dikembangkan sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa
Indonesia dan tuntutan perkembangan zaman.
Pengembangan atas nilai-nilai dasar
Pancasila dilaksanakan secara kreatif dan dinamis dengan mempenhatikan tingkat
kebutuhan serta penkembangan masyanakat Indonesia sendiri.
Dengan demikian nilai-nilai dasan
Pancasila perlu dioperasionalkan, yaitu dijalankan dalam kehidupan sehani-hani.
Nilai-nilai dasar Pancasila seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
dijabarkan menjadi nilai instrumental, dan penjabaran atas nilai instrumental
ini tetap mengacu pada nilai dasarnya, dan nilai instrumental menjadi nilai
praksis.
Adapun dokumen konstitusional yang
disediakan untuk menjabarkan secara kreatif atas nilai-nilai dasar tersebut
antara lain dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi wewenang
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan berupa peraturan perundang-undangan,
serta kebijakan-kebijakan Pemerintah lainnya.
Budaya asing yang bernilai negatif,
misalnya tentang samen leven yang tidak dilarang di dalam kehidupan budaya
Barat, akan ditolak oleh bangsa Indonesia yang mendasarkan diri pada sikap
budaya dan pandangan moral religius, demikian pula dengan pandangan keagamaan
yang dikenal dengan sebutan Children of God, ditolak karena tidak sesuai dengan
pandangan keagamaan yang telah dihayati oleh bangsa Indonesia sejak lama.
G. MEKANISME PENGEMBANGAN IDEOLOGI
PANCASILA
Pengembangan atas nilai-nilai dasar
Pancasila menjadi nilai-nilai instrumental atau operasional dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara bukan sesuatu yang baru. Formalnya dapat dikatakan sejak
bangsa Indonesia berhasil mencanangkan pembangunan Nasional di segala bidang yang
meliputi bidang-bidang Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya dan
Pertahanan Keamanan Nasional (IPOLEKSOSBUD-HANKAMNAS) sebagaimana yang tertuang
dalam Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
(MPR-RI) dapat dianggap sebagai salah satu wujud pengembangan daripada
nilai-nilai dasar Pancasila.
Di lingkungan praktisi, sudah
selayaknya bila mengembangkan nilai-nilai operasional Pancasila, sedangkan di
lingkungan ilmuwan dan pengamat, yang seringkali mendasarkan pada ilmu pengetahuan
baik secara perbandingan maupun secara kedalaman, maka sesuai dengan tuntutan
modern tentang ilmu pengetahuan, dituntut suatu aspek amaliah yang senantiasa
berorientasi pada suatu gagasan dasar atau ideologi.
Adapun di lingkungan organisasi
kemasyarakatan pengembangan nilai-nilai operasional ini telah dimulai
pengembangan yang dilakukan secara perorangan, kemudian dikembangkan melalui
kelompok organisasi (kemasyarakatan) dan setelah itu ditampung oleh organisasi
sosial politik, serta pada tahap benkutnya terjadi proses pelembagaan di
lembaga formal, yaitu lembaga perwakilan permusyawaratan. Alur semacam mi perlu
dibudayakan sebagai budaya politik karena budaya politik itu pada dasarnya
merupakan pengembangan ideologi Pancasila. Kegiatannya dapat beragam, dan
berkumpul atau mengadakan pertemuan-pertemuan ilmiah, muktamar organisasi dan
sebagainya.
H. PEMAHAMAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI
NEGARA
Apabila dalam bidang ilmu
pengetahuan orang berbicara mengenai masalah “pemahaman”, maka yang demikian
ini mengandung makna sejumlah pengertian tertentu, yaitu :
1. Pemahaman dengan menggunakan akal
budi sebagai sarananya,
2. Pemahaman dengan menggunakan akal
pikirana sebagai sarananya,
3. Pemahaman dengan menggunakan alat
inderawi sebagai sarananya.
Dapat pula dikatakan bahwa pemahaman
yang pertama dinamakan pemahaman secara ilmiah-kefilsafatan (yang bertintikan
pemahaman secara metafisik), pemahaman yang kedua dinamakan pemahaman secara
ilmiah-terapan.
Dengan berlandaskan susunan
sistematik yang demikian ini berarti bahwa apabila dihubungkan dengan masalah
pancasila akan kita dapati skema atau bagian tentang pancasila sebagai berikut
:
1. Filsafat Pancasila
2. Ilmu Pancasila
3. Ideology Negara Pancasila
I. CIRI-CIRI POKOK IDEOLOGI NEGARA
PANCASILA
Di atas telah dikatakan bahwa
pancasila sebagai ideology Negara dapat ditafsirkan berdasar atas paham
instrumentisme dan dapat pula ditafsirkan atas paham motivasionisme. Di samping
itu, apabila dikehendaki dan yang demikian ini kiranya paling sesuai dengan
kepribadian bangsa kita, ditafsirkan berdasar atas paham sintetisme.
Dalam hal yang terakhir ini, maka
dalam pelaksanaannya ideology Negara pancasila itu, meskipun bersifat sintetik,
namun pada dasarnya lebih cenderung kepada paham motivaniosme. Namun,
bagaimanapun juga, apabila pancasila sebagai ideology Negara itu merupakan
semacam ancaman paham sintetisme, berarti bahwa setidak-tidaknya dalam
pelaksanaannya sama-sama memperhatikan baik masalah tujuan maupun masalah untuk
mencapai tujuan tersebut.
Berbicara mengenai ideology secara
umum dapatlah dikatakan bahwa yang dinamakan ideology itu adalah sekumpulam
keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan, gagasan-gagasan yang menyangkut
serta mengatur tingkah laku sekelompok manusia tertentu dalam berbagai bidang
kehidupan. Secara garis besar kita dapati lima bidang kehidupan yang pokok,
yaitu :
1. Bidang politik (termasuk di dalamnya
bidang pertahanan/keamanan)
2. Bidang sosial
3. Bidang ekonomi
4. Bidang kebudayaan
5. Bidang keagamaan
Adanya kelima macam bidang tersebut di
atas berarti bahwa ideologi dalam pengertian yang umum tadi dapat merupakan
sistem-sistem nilai yang meliputi kelima bidang kehidupan tersebut. Artinya,
dalam kenyataannya kita dapati ideology politik atau tata nilai politik,
ideology social atau tata nilai social, ideology ekonomi atau tata nilai
ekonomi. Ideology kebudayaan atau tata nilai kebudayaan, dan ideologi keagamaan
atau tata nilai keagamaan.
Sehingga pada dasarnya dapat
dikatakan bahwa paham sintetisme yang memadukan paham instrumentisme dan paham
motivasionisme tersebut di atas diterapkan pula dalam berbagai bidang yang
disebut di depan.
Dengan demikian berarti bahwa
sesungguhnya tata politik (termasuk juga tata hankam) didasarkan atas paham
sintetisme di bidang ideologi tadi, dan begitu juga tata sosial, tata ekonomi,
tata kebudayaan serta tata keagamaan.
Secara berturut-turut akan
dijelaskan mengenai bagaimana penerapan paham sintetisme itu dalam berbagai
macam bidang kehidupan di dalam Negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Subandi,
AL Marsudi, 2001. Pancasila dan UUD 45 Dalam Paradigma Reformasi. PT.
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sutrisno,
Slamet. 1986. Pancasila Sebagai Metode. Liberty. Yogyakarta.
Ideologi
PancasilaSuatu ideologi pada suatu bangsa pada hakikatnya memiliki ciri khas serta karakteristik masing-masing sesuai dengan sifat dan ciri khas bangsa itu sendiri.
Ideologi Pancasila mendasarkan pada hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Negara Pancasila
Manusia dalam merealisasikan dan meningkatkan harkat dan martabat tidaklah mungkin untuk dipenuhinya sendiri, oleh karena itu manusia sebagai makhluk social senantiasa membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Dalam pengertian inilah manusia membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut negara.
Nilai-nilai tersebut adalah berupa nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan, serta nilai religius yang kemudian dikristalisasikan menjadi suatu sistem nilai yang disebut Pancasila.
Pancasila, yaitu suatu negara Persatuan, suatu negara Kebangsaan serta suatu negara yang bersifat Integralistik. Hakikat serta penertian sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Paham Negara Persatuan
Bangsa dan negara Indonesia adalah terdiri atas berbagai macam unsur yang membentuknya yaitu suku bangsa, kepulauan, kebudayaan, golongan serta agama yang secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan.
Hakikat negara persatuan dalam pengertian ini adalah negara yang merupakan suatu kesatuan dari unsur-unsur yang membentuknya, yaitu rakyat yang terdiri atas berbagai macam etnis suku bangsa, golongan, kebudayaan serta agama. Negara persatuan adalah merupakan satu negara, satu rakyat, satu wilayah dan tidak terbagi-bagi misalnya seperti negara serikat, satu pemerintahan, satu tertib hukum yaitu tertib hukum nasionak, satu bahasa serta satu bangsa yaitu Indonesia.
Pengertian ‘Persatuan Indonesia’ lebih lanjut dijelaskan secara resmi dalam Pembukaan UUD 1945 yang termuat dalam berita republik Indonesia Tahun II No 7, bahwa bangsa Indonesia mendirikan negara Indonesia. ‘Negara persatuan’ yaitu negara yang mengatasi segala paham golongan dan paham perseorangan.
Bhineka Tunggal Ika
Hakikat makna Bhineka Tunggal Ika yang memberikan suatu pengertian bahwa meskipun bangsa dan negara Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa yang memiliki adat istiadat, kebudayaan serta karakter yang berbeda-beda, memilki agama yang berbeda-beda dan terdiri atas beribu-ribu kepulauan wilayah nusantara Indonesia, namun keseluruhannya adalah merupakan suatu persatuan yaitu persatuan bangsa dan negara Indonesia.
2. Paham Negara Kebangsaan
Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia adalah sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa yang memiliki sifat kodrat sebagai mahkluk individu yang memiliki kebebasan dan juga sebagai mahkluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain.
Menurut Muhammad Yamin, bangsa Indonesia dalam merintis terbentuknya suatu bangsa dalam panggung politik internasional, yaitu suatu bangsa yang modern yang memiliki kemerdekaan dan kebebasan, berlangsung melalui tiga fase. Fase pertama, yaitu zaman kebangsaan Sriwijaya, kedua zaman kerajaan majapahit. Kedu zaman negara kebangsaan tersebut adalah merupakan kebangsaan lama, dan ketiga pada gilirannya masyarakat Indonesia membentuk suatu nationale Staat, atau suatu Etat Nationale, yaitu suatu negara kebangsaan Indonesia modern menurut susunan kekeluargaan berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa serta Kemanusiaan (sekarang negara proklamasi 17 Agustus 1945).
a. Hakikat Bangsa
Hakikatnya adalah merupakan suatu penjelmaan dari sifat kodrat manusia tersebut dalam merealisasikan harkat dan martabat kemanusiaannya.
Manusia membentuk suatu bangsa karena untuk memenuhi hak kodratnya yaitu sebagai individu dan mahkluk sosial, oleh karena itu deklarasi bangsa Indonesia tidak mendasarkan pada deklarasi kemerdekaan individu sebagaimana negara liberal.
b. Teori Kebangsaan
Dalam tumbuh berkembangnya suatu bangsa atau juga disebut sebagai ‘nation’ terdapat berbagai macam teori besar yang merupakan bahan komparasi bagi para pendiri negara Indonesia untuk mewujudkan suatu bangsa yang memiliki sifat dan karakter tersendiri.
Teori-teori kebangsaan tersebut adalah sebagai berikut :
1) Teori Hans Kohn
Hans Kohn sebagai seorang ahli astrologi etnis mengemukakan teorinya tentang bangsa yaitu terbentuk karena persamaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah, negara dan kewarganegaraan.
2) Teori Kebangsaan Ernest Renan
Hakikat bangsa atau ‘nation’ ditinjau secara ilmiah oleh seorang ahli dari Academmie Francaise Prancis pada tahun 1982. menurut Renan pokok-pokok pikiran tentang bangsa adalah sebagai berikut :
a. Bahwa bangsa adalah suatu jiwa, suatu asas kerokhanian
b. Bahwa bangsa adalah suatu solidaritas yang besar
c. Bangsa adalah suatu hasil sejarah. Oleh karena sejarah berkembang terus maka kemudian menurut Renan bahwa :
d. Bangsa adalah bukan sesuatu yang abadi
e. Wilayah dan ras bukanlah suatu penyebab timbulnya bangsa. Wilayah memberikan ruang di mana bangsa hidup, sedangkan manusia membentuk jiwanya. Dalam kaitan inilah maka Renan kemudian tiba pada suatu kesimpulan bahwa bangsa adalah suatu jiwa, suatu asas kerokhanian.
Lebih lanjut Ernest Renan menegaskan bahwa faktor-faktor yang membentuk jiwa bangsa adalah sebagai berikut :
a. Kejayaan dan kemuliaan di masa lampau
b. Suatu keinginan hidup bersama baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang
c. Penderitaan-penderitaan bersama sehingga kesemuanya itu merupakan
d. ‘Le capital social’ (suatu modal sosial) bagi pembentukan dan pembinaan paham kebangsaan. Akan tetapi yang terlebih penting lagi adalah bukan apa yang berakar di masa silam melainkan apa yang harus diperkembangkan di masa yang akan datang. Hal ini memerlukan suatu :
e. Persetujuan bersama pada waktu sekarang, yaitu suatu musyawarah untuk mencapai suatu kesepakatan bersama di saat sekarang yang mengandung hasrat
f. Keinginan untuk hidup bersama, dengan kesediaan untuk :
g. Berani memberikan suatu pengorbanan. Oleh karena itu bila mana sautu bangsa ingin hidup terus kesediaan untuk berkorban ini harus terus dikembangkan. Dalam pengertian inilah maka Renan sebagai :
h. Pemungutan suara setiap hari, yang menjadi syarat mutlak bagi hidupnya suatu bangsa serta pembinaan bangsa (Ismaun, 1981 : 38, 39)
3) Teori Gepolitik oleh Frederich Ratzel
Teori ini menyatakan bahwa negara adalah merupakan suatu organisme yang hidup. Dalam bahasa jerman disebut ‘Lebensraum’. Negara-negara besar menurut ratzel memiliki semangat ekspansi, militerisme serta optimisme, teori Ratzel ini bagi negara-negara modern terutama di Jerman mendapat samputan yang cukup hangat, namun sisi negatifnya menimbulkan semangat kebangsaan yang chauvinistis (Polak, 1960 : 71).
4) Negara Kebangsaan Pancasila
Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang, sejak zaman kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit serta dijajah oleh bangsa asing selama tiga abad.
Pancasila adalah bersifat ‘majemuk tunggal’. Adapaun unsur-unsur yang membentuk nasionalsime (bangsa) Indonesia adalah sebagai berikut :
1) Kesatuan sejarah, bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang dari suatu proses sejarah, yaitu sejak zaman prasejarah, zaman Sariwijaya, Majapahit kemudian datang penjajah, tercetus Sumpah Pemuda 1928 dan akhirnya memproklamasikan sebagai bangsa yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, dalam suatu wilayah negara republik Indonesia.
2) Kesatuan nasib, yaitu bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki kesamaan nasib yaitu penderitaan penjajahan selama tiga setengah abad dan memperjuangkan demi kemerdekaan secara bersama dan akhirnya mendapatkan kegembiraan bersama atas karunia Tuhan yang Maha Esa tentang kemerdekaan.
3) Kesatuan Kebudayaan, walaupun bangsa Indonesia memiliki keragaman kebudayaan, namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yaitu kebudayaan nasional Indonesia. Jadi kebudayaan nasional Indonesia tumbuh dan berkembang di atas akar-akar kebudayaan daerah yang menyusunnya.
4) Kesatuan Wilayah, bangsa ini hidup dan mencari penghidupan dalam wilayah Ibu Pertiwi, yaitu satu tumpah darah Indonesia.
5) Kesatuan Asas Kerokhanian, bangsa ini sebagai satu bangsa memiliki kesamaan cita-cita, kesamaan pandangan hidup dan filsafat hidup yang berakar dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri yaitu pandangan hidup Pancasila (Notonagoro, 1975 106)
3. Paham Negara Integralistik
Pancasila sebagai asas kerokhanian bangsa dan negara Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu asas kebersamaan, assas kekeluargaan serta religius.
Dalam pengertian ini kesatuan integralistik memberikan suatu prinsip bahwa negara adalah suatu kesatuan integral dari unsur-unsur yang menyusunnya, negara mengatasi semua golongan bagian-bagian yang membentuk negara, negara tidak memihak pada suatu golongan betapapun golongan tersebut sebagai golongan besar.
Berdasarkan pengertian paham integralistik tersebut maka rincian pandangan tersebut adalah sebagai berikut :
1) Negara merupakan suatu susunan masyarakat yang integral
2) Semua golongan bagian, bagian dan anggotanya berhubungan erat satu dengan lainnya
3) Semua golongan, bagian dari anggotanya merupakan persatuan masyarakat yang organis
4) Yang terpenting dalam kehidupan bersama adalah perhimpunan bangsa seluruhnya
5) Negara tidak memihak kepada suatu golongan atau perseorangan
6) Negara tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat
7) Negara tidak hanya untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan saja
8) Negara menjamin kepentingan manusia seluruhnya sebagai suatu kesatuan integral
9) Negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (yamin, 1959).
4. Negara Pancasila Adalah Negara Kebangsaan Yang Berketuhanan Yang Maha Esa
Dasar ontologis negara kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah hakikat manusia ‘monopluralis’. Manusia secara filosofis memiliki unsur ‘susunan kodrat’ jasmani (raga) dan rokhani (jiwa), sifat kodrat sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat sebagai mahkluk Tuhan yang Maha Esa serta sebagai makhaluk pribadi.
Individu yang hidup dalam suatu bangsa adalah sebagai makhluk Tuhan maka bangsa dan negara sebagai totalitas yang integral adalah Berketuhanan, demikian pula setiap warganya juga berketuhanan Yang maha Esa.
Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara demikian juga bukan merupakan negara agama yaitu negara yang mendasarkan atas agama tertentu.
Kebangsaan beragama dan kebebasan agama adalah merupakan hak asasi manusia yang paling mutlak, karena langsung bersumber pada martabat manusia yang berkedudukan kodrat sebagai pribadi dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa.
a. Hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama Pancasila sebagai dasar filsafat negara adalah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Oleh karena sebagai dasar negara maka sila tersebut merupakan sumber nilai, dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, baik yang bersifat material maupun spiritual. Arti material antrara lain, bentuk negara tujuan negara, tertib hukum, dan sistem negara. Adapun yang bersifat spiritual antara lain moral agama dan moral penyelenggaraan agama.
Pancasila adalah negara kebangsaan yang berketuhanan yang Maha Esa dalam arti memiliki kebebasan dalam memeluk agama sesuai dengan keimanan dan ketaqwaan masing-masing, Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2.
b. Hubungan Negara dengan Agama
Negara pada hakikatnya adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Berdasarkan kodrat manusia tersebut maka terdapat berbagai macam konsep tentang hubungan negara dengan agama, dan hal ini sangat ditentukan oleh dasar ontologis manusia masing-masing.
1) Hubungan Negara dengan Agama Menurut Pancasila
Menurut Pancasila negara adalah berdasar atas ketuhanan Yang maha Esa atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini termuat dalam Penjelasan Pembukaan UUD 1945 yaitu Pokok Pikiran keempat. Pancasila adalah bukan negara sekuler yang memisahkan negara dengan agama, karena hal ini tercantum dalam pasal 29 ayat 1, bahwa negara adalah berdasar ketuhanan Yang Maha Esa.
Masing-masing negara kebangsaan yang Berketuhanan yang Maha Esa adalah negara yang merupakan penjelmaan dari hakikat kodrat manusia sebagai individu makhluk sosial dan manusia adalah sebagai pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Bilamana dirinci maka hubungan negara dengan agama menurut negara Pancasila adalah sebagai berikut :
1. Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa. Konsekuensinya setiap warga memiliki hak asasi untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing
3. Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekulerisme karena hakikatnya manusia berkedudukan kodrat sebagai mahkluk Tuhan
4. Tidak ada tempat bagi pertentangan agama, golongan agama, antar dan inter pemeluk agama serta antar pemeluk agama
5. Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena ketaqwaan itu bukan hasil paksaan bagi siapapun juga
6. Oleh karena itu harus memberikan toleransi terhadap orang lain dalam menjalankan agama dalam negara
7. segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus sesuai dengan nilai–nilai Ketuhanan Yang Maha Esa terutama norma-norma hukum positif maupun norma moral baik moral agama negara maupun moral para penyelenggara negara
8. Negara pada hakikatnya adalah merupakan “.........berkat rakhamat Allah yang maha Esa. (bandingkan dengan Notonagoro, 1975)
2) Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Theokrasi
Hubungan negara dengan agama menurut paham theokrasi bahwa antara negara dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dalam praktek kenegaraan terdapat dua macam pengertian negara theokrasi , yaitu Negara Theokrasi Langsung, dan Negara Theokrasi tidak Langsung.
a) Negara Theokrasi Langsung
Dalam system Negara Theokrasi langsung, kekuasaan adalah langsung merupakan otoritas Tuhan. Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan yang memerintah adalah Tuhan.
b) Negara Theokrasi tidak Langsung
Berbeda dengan system Theokrasi yang langsung, Negara Theokrasi tidak Langsung bukan Tuhan sendiri yang memerintah dalam Negara, melainkan Kepala Negara atau Raja, yang memiliki otoritas atas nama Tuhan. Kepala Negara atau raja memerintah Negara atas kehendak Tuhan, sehingga kekuasaan dalam negara merupakan suatu karunia dari Tuhan
3) Hubungan Negara dengan Agama Menurut Sekulerisme
Paham sekulerisme membedakan dan memisahkan antara agama dan negara. Sekulerisme berpandangan bahwa negara adalah masalah-masalah keduniawian hubunagan manusia dengan manusia, adapun agama adalah urusan akherat yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan.
Negara adalah urusan hubungan horizontal antar manusia dalam mencapai tujuannya. Agama adalah menjadi unsur umat masing-masing agama. Walaupun dalam negara sekuler membedakan antara agama dan negara, namun lazimnya negara diberikan kebebasan dalam memeluk agama masing-masing.
5. Negara Pancasila Adalah Negara Kebangsaan Yang Berkemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Filsafat Pancasila adalah merupakan suatu penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Negara adalah suatu negara kebangsaan berketuhanan Yang Maha Esa, dan berkemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Sifat-sifat dan keadaan negara tersebut adalah meliputi (1) bentuk negara (2) tujuan negara (3) organisasi negara (4) kekuasaan negara (5) penguasa negara (6) warga negara, masyarakat, rakyat dan bangsa (lihat Notonagoro, 1975). Negara dalam pengertian ini menempatkan manusia sebagai dasar ontologis, sehingga manusia adalah sebagai asal mula negara dan kekuasaan negara. Manusia adalah merupakan paradigma sentral dalam setiap aspek penyelenggara negara, terutama dalam pembangunan negara (pembangunan Nasional).
6. Negara Pancasila Adalah Negara Kebangsaan Yang Berkerakyatan
Negara menurut filsafat Pancasila adalah dari oleh dan untuk rakyat. Rakyat adalah merupakan suatu penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Hak-hak demokrasi yang (1) disertai tanggung jawab kepada Tuhan Yang maha Esa (2) menjunjung dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, serta (3) disertai dengan tujuan untuk mewujudkan suatu keadilan sosial, yaitu kesejahteraan dalam hidup bersama.
Pokok-pokok kerakyatan yang terkandung dalam sila keempat dalam penyelenggaraan negara dapat dirinci sebagai berikut :
1) Manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat mempunyai kedudukan dan hak yang sama
2) Dalam menggunakan hak-haknya selalu memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan negara dan masyarakat
3) Karena mempunyai kedudukan, hak serta kewajiban yang sama maka pada dasarnya tidak dibenarkan memaksakan kehendak pada pihak lain
4) Sebelum mengambil keputusan, terlebih dahulu diadakan musyawarah
5) Keputusan diusahakan ditentukan secara musyawarah
6) Musyawarah untuk mencapai mufakat, diliputi oleh suasana dan semangat kebersamaan. (Suhadi, 1998).
7. Negara Pancasila Adalah Negera Berkebangsaan Yang Berkeadilan Sosial.
Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial, yang bearti bahwa negara sebagai penjelmaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sifat kodrat individu dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan suatu keadilan dalam hidup bersama (Keadilan Sosial). Manusia pada hakikatnya adalah adil dan beradab yang bearti manusia harus adil terhadap diri srndiri, adil terhadap Tuhannya, adil terhadap orang lain dan masyarakat serta adil terhadap lingkungan alamnya.
Hukum harus terpenuhi adanya tiga syarat pokok yaitu (1) pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, (2) peradilan yang bebas, (3) legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya, yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 1 dan 2, Pasal 28, Pasal 29 ayat 2, Pasal 31 ayat 1.
Realisasinya Pembangunan Nasional adalah merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan negara, sehingga Pembangunan Nasional harus senantiasa meletakkan asas keadilan sebagai dasar operasional serta dalam penentuan berbagai macam kebijaksanaan dalam pemerintahan negara.
Ideologi Liberal
Akar-akar rasionalisme yaitu paham yang meletakkan rasio sebagai sumber kebenaran tertinggi, materialisme yang meletakkan materi sebagai nilai tertinggi, empirisme yang mendasarkan atas kebenaran fakta empiris (yang dapat ditangkap dengan indra manusia).
Istilah Hobbes disebut “homo homini lupus” sehingga manusia harus membuat suatu perlindungan bersama. Atas dasar kepentingan bersama.
Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Liberalisme
Negara adalah merupakan alat atau sarana individu, sehingga masalah agama dalam negara sangat ditentukan oleh kebebasan individu.
Ideologi Sosialisme Komunis
Bebagai macam konsep dan paham sosialisme sebenarnya hanya paham komunismelah sebagai paham yang paling jelas dan lengkap. Paham ini adalah sebagai bentuk reaksi atas dasar perkembangan masyarakat kapitalis sebagai hasil dari ideologi liberal.
Manusia pada hakikatnya adalah merupakan sekumpulan relasi, sehingga yang mutlak adalah komunitas dan bukannya idividualitas.
Etika ideologi komunisme adalah mendasarkan suatu kebaikan hanya pada kepentingan demi keuntungan kelas masyarakat secara totalitas.
Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Komunisme
Pada komunisme dalam memandang hakikat hubungan negara dengan agama mendasarkan pada pandangan filosofis materialisme dialektis dan materialisme historis. Hakikat kenyataan tertinggi menurut paham komunisme adalah materi. Fenomena-fenomena dasar yaitu dengan suatu keiatan-kegiatan yang paling material yaitu fenomena-fenomena ekonomis. Agama menurut komunisme adalah realisasi fanatis makhluk manusia, agama adalah keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu menurut komunisme Marxis, agama adalah merupakan candu masyarakat (Marx, dalam Louis leahy, 1992 97,98).
Negara yang berpaham komunisme adalah bersifat atheis bahkan bersifat antitheis, melarang dan menekan kehidupan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar