ads

Selasa, 12 Juni 2012

Penghantar Pendidikan, Aliran Aliran Pendidikan


A.               Aliran Klasik
Menurut Rohmad Wahab (1999) sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan memiliki nuansa berbeda antara satu daerah dan daerah lain, sehingga banyak bermunculan pemikiran-pemikiran yang dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan. Karenanya, banyak teori yang dikemukakan para pemikir yang bermuara pada munculnya berbagai aliran pendidikan.
1.      Aliran Empirisme
Tokoh aliran Empirisme  adalah John Locke, filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704. Teorinya dikenal dengan Tabulae Rasae (meja lilin) yang menyebutkan anak yang lahir ke dunia seperti kertas putih yang bersih. Kertas putih akan mempunyai corak dan tulisan yang digores oleh lingkungan. Faktor bawaan dari orangtua (faktor keturunan) tidak dipentingkan. Pengalaman diperoleh oleh anak melalui hubungan dengan lingkungan (sosial, alam,dan budaya). Pengaruh empiris yang diperoleh dari lingkunagan berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Menurut aliran ini, pendidik sebagai faktor luar memegang peranan sangat penting, sebab pendidik menyediakan lingkunga pendidikan bagi anak, dan anak akan menerima pendidikan sebagai pengalaman. Pengalaman tersebut akan membentuk tingkah laku, sikap, serta watak anak sesuai tujuan pendidikan yang diharapkan, hal ini berdasarkan pendapat Rohmad Wahab (1999).
Misalnya : Ketika dua anak kembar sejak lahir dipisahkan dan dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Satu dari mereka  dididik di desa oleh keluarga petani golongan miskin, yang satu dididik di lingkungan keluarga yang kaya yang hidup di kota dan disekolahkan di sekolah yang modern. Ternyata pertumbuhannya tidak sama.
Menurut Rohman Wahab kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.
2.      Aliran Nativisme
Tokoh aliran Nativisme adalah Schopenhauer. Ia adalah filosof Jerman  yang hidup pada tahun 1788-1880. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, maka ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat tidak akan berguna bagi perkembangan anak tersebut.
            Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orang tuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orang tua. Prinsipnya, padangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahirke dunia, yaitu daya-asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu.
 Akan tetapi aliran Nativisme ini tidak sepenuhnya benar, karena lingkungan dan didikan membawa pengaruh besar terhadap perkembangan anak juga. Misalnya ada seorang anak manusia yang hidup diabaw asuhan gorilla. Seperti Tarzan, Tarzan sejak bayi hidup di hutan belantara yang berbahaya. Tarzan tetap hidup atas bantuan gorilla sebagai induknya. Akhirnya, Tarzan mempunyai gaya hidup, bicara, ungkapan bahasa dan watak seperti gorilla, padahal dia adalah manusia.
3.      Aliran Naturalisme
Tokoh aliran ini adalah J.J Rousseau. Ia adalah filosof Prancis yang hidup tahun 1712-1778. Naturalisme memilik pandangan bahwa setiap manusia yang lahir di dunia memiliki pembawaan baik, namun pembawaan tersebut akan menjadi rusak karena pengaruh lingkungan, sehingga aliran Naturalisme sering disebut Negativisme.
Menurut M. Arifin dan Aminuddin (1992), Naturalisme memiliki tiga prinsip tentang proses pembelajaran  yaitu :
a.       Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan perkembangan di dalam dirinya secara alami.
b.      Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik berperan sebagai fasilitator atau narasumber yang menyediakan lingkungan yang mamapu mendorong keberanian anak didik kea rah pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik. Tanggung jawab belajar terletak pada diri anak sendiri.
c.       Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi kepada pola belajar anak didik. Anak didik secara bebas diberi kesempatan untuk menciptakan lingkungan belajarnya sendiri sesuai dengan minat dan perhatiannya.

Dengan demikian, aliran Naturalisme menitikberatkan pada strategi pembelajaran yang bersifat paedosentris; artinya, faktor kemampuan individu anak didik menjadi pusat kegiatan proses mengajar.

4.      Aliran Konvergensi
Tokoh aliran Korvegensi adalah William Stern. Ia seorang tokoh pendidikan Jerman yang hidup di tahun 1871-1939. Aliran Korvegensi merupakan kompromi atau kombinasi dari aliran Nativisme dan Empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa anak lahir di dunia ini telah memiliki bakat baik dan buruk, sedangkan perkembangan anak selanjutnya akan dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi, faktor pembawaan dan lingkungan sama-sama berperan penting.
Anak yang memiliki pembawaan baik dan didukung oleh lingkungan yang baik akan menjadi semakin baik. Sedangkan bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan bakat itu sendiri. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak secara optimal jika tidak didukung oleh bakat baik yang dibawa anak.
Dengan demikian, aliran Korvegensi menganggap bahwa pendidikan sangat bergantung pada faktor pembawaan atau bakat dan lingkungan Hanya saja Wiliian Stern tidak menyebutkan seberapa perbandingan pengaruh krdua faktor tersebut. Sampai sekarang pengaruh dari kedua faktor tersebut belum bisa ditentukan.

B.               Gerakan Baru Dalam Pendidikan
1.      Pengajaran Pusat Perhatian (Ovide Decroly)
Menurut Firdaus Rahmatullah (2010) pengajaran pusat perhatian dirintis oleh Ovide Declory (1871-1932) yang berasal dari Belgia. Dia adalah seorang dokter perancis mendirikan yayasan untuk anak-anak abnormal yang bertempat dirumahnya pada tahun1901. Pada tahun1907 metodenya diterapkan pada anak-anak normal. Pengajaran disusun menurut pusat perhatian anak, yang dinamai centres d’interet. Pendidikan menurut Declory berdasar pada semboyan ecois pour ia vie, par la vie (sekolah untuk hidup dan oleh hidup). Decroly mencari dan menyelidiki naluri anak dalam pertumbuhannya (secara intrinsik). Berangkat dari naluri tersebut selanjutnya disusun pusat perhatian.
Ovide Decroly berpendapat  anak harus dididik untuk dapat hidup dalam masyarakat dan dipersiapkan dalam masyarakat, anak harus diarahkan.Oleh karena itu, anak harus mempunyai pengetahuan terhadap diri sendiri (tentang hasrat dan cita-citanya) dan pengetahuan tentang dunianya (lingkungannya, terdapat hidup di hari depannya). Pengetahuan anak harus bersifat subjektif dan objektif.
Anak-anak mempunyai minat spontan terhadap diri sendiri. Minat spontan terhadap diri sendiri itu dibedakan menjadi dua yaitu dorongan untuk mempertahankan diri dan dorongan mencari makan dan minum. Selain itu anak-anak mempunyai minat spontan terhadap masyarakat pula. Minat spontan terhadap masyarakat dibedakan menjadi dua yaitu dorongan sibuk main-main dan dorongan untuk meniru orang, seperti yang dikemukakan oleh Firdaus Rahmatullah (2010).
Pengajaran pusat perhatian mempuntai beberapa asas-asas, yaitu :
·      Pengajaran ini didasarkan atas kebutuhan anak alam hidup dan perkembangannya.
·      Setiap beban pengajaran harus merupakan keseluruhan, tidak mementingkan bagian tetapi mementingkan keberartian dari keseluruhan ikatan bagian itu.
·      Hubungan keseluruhan itu adalah hubungan simbiosis.
·      Anak didorong dan dirangsang untuk selalu aktif dan didik untuk menjadi anggota masyarakat yang dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab.
·      Harus ada hubungan kerjasama yang erat antara rumah dan keluarga.

2.      Sekolah Kerja (George Kerschensteiner)
Menurut Fidaus Rahmatullah (2010) sekolah kerja merupakan titik kulminasi dari pandangan yang mementingkan keterampian dalam pendidikan. J.A. Comenius (1592-1670) menekankan agar pendidikan mengembangkan pikiran, ingatan, bahasa dan tangan (keterampilan kerja tangan). Bapak sekolah kerja, G.Kereschensteiner (1854-1932) adalah seorang guru ilmu pasti yang diangkat sebagai inspektur di Munchen. Dia mengembangkan pengajaran arbeitesschule (sekolah kerja) di Jerman.
Sekolah kerja ini bertolak dari pandangan bahwa pendidikan itu tidak hanya demi kepentingan individu tetapi berkewajiban menyiapkan warga negara yang baik, yakni:
·      Tiap orang adalah pekerja dalam salah satu lapangan jabatan
·      Tiap orang wajib menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan negara
·      Dalam menunaikan kedua tugas tersebut haruslah selalu diusahakan kesempurnaannya, agar dengan jalan itu tiap warga negara ikut membantu mempertinggi dan menyempurnakan kesusilaan dan keselamatan negara

Menurut G.Kereschensteiner tujuan sekolah kerja adalah menambah pengetahuan anak, yaitu pengetahuan yang dididapat dari buku atau orang lain, dan yang didapat dari pengalaman sendiri. Selain itu agar anak dapat memiliki kemampuan dan kemahiran tertentu. Dan yang terakhir adalah agar anak dapat memiliki pekerjaan sebagai persiapan jabatan dalam mengabdi negara.

Kereschenteiner berpendapat bahwa kewajiban utama sekolah adalah mempersiapkan anak-anak untuk dapat bekerja. Karena banyaknya macam pekerjaan yang menjadi pusat pelajaran, maka dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu, sekolah-sekolah perindustrian, sekolah-sekolah perdagangan dan sekolah-sekolah rumah tangga, yang bertujuan mendidik para calon ibu yang diharapkan akan menghasilkan warga negara yang baik. Pengikut G.Kereschensteiner antara lain: Leo de Paeue, seorang dirjen pengajaran normal di Belgia. Ia membuka lima sekolah kerja juga seperti sekolah teknik kerajinan, sekolah dagang, sekolah pertanian bagi anak laki-laki, sekolah rumah tangga kota, sekolah rumah tangga desa.
Pengajaran sekolah kerja ini mempunyai dasar- dasar, yaitu :
·      Di dalam sekolah kerja anak aktif berbuat.
·      Pusat kegiatan pendidikan dan pengajran ialah anak.
·      Sekolah kerja mendidik anak menjadi pribadi yang berani berdiri sendiri dan bertanggungjawab sebagai anggota masyarakat yang baik.
·      Bahan pelajaran disusun dalam suatu keseluruhan yang berpusat pada masalah kehidupan.
·      Sekolah kerja tidak mementingkan pegetahuan yang bersifat hafalan atau hasil peniruan, melainkan pengetahuan fungsional dan dapat dipergunakan untuk berprakarsa, mencipta dan berbuat.
·      Pendidikan kecerdasan tidak dapat diberikan dengan memberitahukan atau menceritakannya kepada anak melainkan anka sendiri yang harus menjalani proses berfikir sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
·      Sekolah kerja merupakan suatu bentuk masyarakat kecil yang didalamnya anak-anak mendapatkan latihan dan pengalaman yang amat penting artinya bagi pendidikan moral, sosial, dan kecerdasan.

3.      Pengajaran Proyek (John Dewey dan W.H. Kilpatrick )
Dasar filosofis dan pedagosis diletakkan pada John Dewey (1859-1952) namun pelaksanaannya dilakukan oleh W.H.kilpartrick. Dalam pengajaran proyek anak bebas menentukan pilihannya, merancang serta memimpinya. Proyek yang ditentukan oleh anak mendorongnya mencari jalan pemecahan bila dia menemui kesukaran. Anak dengan sendirinya giat dan aktif karena sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dalam pengajaran proyek, pekerjaan dikerjakan secara berkelompok untuk menghidupkan rasa gotong-royong.
Pengajaran proyek digunakan sebagai salah satu metode mengajar di Indonesia, yang perlu ditekankan bahwa pengajaran proyek akan menumbuhkan kemampuan untuk memandang dan memecahkan persoalan secara komprehensif.
Langkah-langkah pokok pengajaran proyek
ada tiga, yaitu persiapan, kegiatan belajar dan penilaian.

4.      Pengajaran Alam Sekitar (Jan Lighthart dan Fr. A. Finger)
Menurut Firdaus Rahmatullah (2010), gerakan pendidikan yang mendekatkan anak dengan sekitarnya adalah gerakan pengajaran alam sekitar. Pengajaran alam sekitar dinamakan “Pengajaran barang sesungguhnya”. Perintis gerakan ini antara lain : Fr. A.Finger (1808-1888) Jerman dengan heimatkunde (pengajaran alam sekitar), dan J. Ligthart (1859-1916)di Belanda dengan Het Volle Leven (kehidupan senyatanya). J. Lihgthar menekankan bahwa di dalam pelaksanaan pengajran yang terpenting adalah suasananya, yaitu ketulus-iklasan, kasih sayang, persaudaraan dan kepercayaan. Pengajaran alam sekitar merupakan benih bagi berkembangnya pengajaran pusat perhatian, sekolah kerja dan pengajaran proyek.
Beberapa prinsip gerakan heimatkunde adalah :
·      Dengan pengajaran alam sekitar itu guru dapat meragakan secara langsung.
·      Pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya agar peserta didik aktif atau tidak hanya duduk, dengar dan catat saja.
·      Pengajaran alam sekitar memungkinkan untuk memberikan pengajaran totalitas.
·      Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apresiasi intektual yang kukuh dan tidak verbalistis.
·      Pengajaran alam sekitar memberikan apresiasi emosional, karena alam sekitar mempunyai ikatan emosional dengan anak.Untuk anak ataupun orang dewasa alam sekitar merupakan sebagian dari hidupnya sendiri, dalam duka maupun suka.
Ciri-ciri pengajaran alam sekitar adalah :
·      Suatu pengajaran yang tidak mengenal pembagian mata pelajaran dalam daftar pengajaran, tetapi guru memahami tujuan pengajaran dan mengarahkan usahanya mencapai tujuan.
·      Suatu pengajaran menarik minat, karena segala sesuatu dipusatkan atas suatu bahan pengajaran yang menarik perhatian anak dan diambil dari alam sekitarnya.
·      Suatu pengajaran yang memungkinkan segala bahan pengaajaran itu berhubungan satu sama lain seerat-eratnya secara teratur.
·      Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi intelektual yang kokoh dan tidak verbalitas.
·      Pengajaran alam sekitar memberikan apersepsi emosional, karena alam sekitar mempunyai ikatan emosional dengan anak.
Demikianlah alam sekitar sebagai fundamen pendidikan dan pengajaran memberikan dasar emosional.Sedangkan J. Lingthart mengemukakan pegangan dalam Het Volle leven sebagai berikut :
·      Anak harus mengetahui barangya terlebih dahulu sebelum mendengar namanya, tidak kebalikanya sebab kata itu hanya suatu tanda dari pengertian tentang barang itu.
·      Pengajaran sesungguhnya harus mendasarkan pada pengajaran selanjutnya atau mata pengajaran yang lain harus dipusatkan atas pengajaran itu.
·      Haruslah diadakan perjalanan memasuki hidup senyatanya agar murid paham akan hubungan antara macam-macam lapangan dalam hidupnya (pengajaran alam sekitar).
Langkah-langkah pokok pengajaran alam sekitar, yaitu :
·      Menetapkan tujuan, yang harus diperhatikan ialah kemampuan dan tingkat perkembangan anak
·      Persiapan perlu dilakukan, baik persiapan guru maupun persiapan murid
·      Jika langkah pelaksanaan tela ditangani dengan baik, maka pelaksaan pengamatan dapat berjalan dengan lancar
·      Langkah pengolahan tidak harus dilakukan di luar proses kegiatan pengamatan it sendiri.
Keuntungan Pengajaran Alam Sekitar adalah pengajaran ini menentang verbalisme dan intelektualisme, objek alam dapat membangkitkan spontan anak-anak yang akan mendorongnya melakukan kegiatan dengan sepenuh hati, anak-anak selalu didorong untuk aktif dan kreatif dan anak-anak dijadikan subjek bagi alam sekitarnya.

C.               Dua Aliran Pokok Pendidikan di Indonesia
1.      Perguruan Kebangsaan Taman Siswa
Menurut H. Dinn Wahyudin (2007) Perguruan Kebangsaan Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta,yakni dalam bentuk  yayasan. Taman Siswa secara jelas menunjukan sifatnya yang nasionalis dan pedadogis serta cultural. Walaupun bukan suatu organisasi politik, Taman Siswa sejak pendiriannya memilki tujuan politik, yaitu kemerdekaan Indonesia. Tujuan ini jelas dari pertimbangan Ki Hajar Dewantara, pendirinya, sewaktu berada di pengasingan di Negeri Belanda untuk mendalami masalah pendidikan. Menurut Ki Hajar, rakyat Indonesia harus benar-benar menyadari arti kehidupan berbangsa dan bertanah air melalui pendidikan. Taman Siswa mencita-citakan terciptanya pendidikan nasional, yaitu pendidikan yang beralas kebudayaan sendiri. Dalam pelaksanaanya pendidikan Taman Siswa akan mengikuti garis kebudayaan nasional dan berusaha mendidik angkatan muda di dalam jiwa kebangsaan.
Dalam perkembangan selanjutnya Taman Siswa melengkapi “ Asas 1922 “ dengan “Dasar-Dasar   1947 “ yang disebut pula “ Panca Dharma Taman Siswa”. Kelima dasar Taman Siswa tersebut (Ki Mangunsarkoro,  1952, dari Wawasan Kependidikan Guru. 1982:  153-154) adalah:
1)                   Asas kemerdekaan harus diartikan disiplin pada diri sendiri oleh diri sendiri as dasar  nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu maupun anggota masyarakat. Maka itu Kemerdekaan menjadi alat mengembangkan pribadi yang kuat dan sadar dalam suatu perimbangan dan keselarasan dengan masyarakat tertib damai i tempat keanggotaannya.
2)                  Asas kodrat alam pada hakikatnya manusia itu sebagai makhluk adalah satu dengan kodrat alam. Ia tidak bisa lepas dari kehendaknya, tetapi akan mengalami bahagia jika bisa menyatukan diri dengan kodrat alam. Pendidikan Taman Siswa mengakui hak-hak anak untuk bebas yang dinyatakan tidak tanpa batas. Batas itu antara lain adalah lingkungan dan kebudayaan. Pengakuan atas hak-hak anak untuk kebebasan berarti anak diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang menurut bakat dan pembawaannya, atau dalam istilah Ki Hajar Dewantara, menurut kodratnya seperti tersimpul dalam asas Taman Siswa “ kodrat alam “,  begitulah menurut H. Dinn Wahyudin (2007).
Pengakuan atas kebebasan anak adalah suatu prinsip pendidikan yang sangat pokok pada Taman Siswa. Prinsip demokrasi dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan pengertian seperti berikut :
1.      Anak dalam pendidikan merupakan pusat perhatian pendidik. Dalma pertumbuhan dan perkembangan yang terus berjalan, lingkungan anak makin luas dan segala sesuatu yang dijumpainya akan dijadikan milkinya. Hal ini kemudian melahirkan prinsip kosentris, kontinue, dan konvergen yang terkenal dengan istilah “tri-kon”.
2.      Musyawarah sebagai prinsip demokrasi tetapi menghargai pimpinan. Ki Hajar Dewantara menyebutnya “democratie met  leiderschap”. Ki Hajar Dewantara menganggap perlu ada suatu kewajiban yang pada suatu ketika mengarah pada musyawarah atau mufakat.
3.      Dasar demokrasi yang mengakui hak anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya telah melahirkan metode “among” dengan semboyannya “tut wuri handayani” yang kemudian diadopsi menjadi semboyan pendidikan nasional. Dasar demokrasi telah membawa Taman Siswa menjadi tidak kaku dan melahirkan prinsip hidup kekeluargaan yang dikalangan Taman Siswa dipraktekan dengan sungguh-sungguh.

3)                    Asas kebudayaan Taman Siswa tidak berarti asal memelihara kebudayaan kebangsaan itu kearah kemajuan yang sesuai dengan kecerdasan zaman, kemajuan dunia,dan kepentingan hidup rakyat lahir dan batin tiap-tiap zaman dan keadaan.
4)                  Asas kebangsaan, Taman Siswa tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, malahan harus menjadi bentuk dan fiil kemanusiaan yang nyata dan oleh karena itu tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain, melainkan mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, rasa satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju pada kebahagian hidup lahir dan batin seluruh bangsa.
5)                  Asas kemanusiaan menyatakan bahwa darma tiap-tiap manusia itu adalah mewujudkan kemanusiaan, yang berarti kemajuan manusia lahir dan batin yang setinggi-tingginya, dan juga bahwa kemajuan kemanusiaan yang tinggi itu dapat dilihat pada kesucian hati orang dan adanya rasa- kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makhluk Tuhan seluruhnya, tetapi cinta-kasih yang tidak bersifat kelembekan hati,melainkan bersifat keyakinan adanya hukum kamajuan yang na meliputi alam semesta. Karena dasar cinta-kasih kemanusiaan itu harus tampak pula sebagai kesimpulan untuk berjuang melawan segala sesuatu yang merintangi kemajuan selaras dengan kehendak alam
Pada waktu pertama kali didirikan, sekolah Taman Siswa ini diberi nama "National Onderwijs Institut Taman Siswa", yang merupakan realisasi gagasan beliau bersama-sama dengan teman di paguyuban (Sloso Kliwon). Sekolah Taman Siswa ini sekarang berpusat di balai Ibu Pawiyatan (Majelis Luhur) di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, dan mempunyai 129 sekolah cabang di berbagai kota di seluruh Indonesia. ,yakni dalam bentuk  yayasan, selanjutnya  mulai didirikan Taman Indria (Taman kanak-kanak) dan Kursus Guru, selanjutnya Taman Muda (SD), disusul Taman Dewasa merangkap Taman Guru (Mulo-Kweekschool). Sekarang ini, telah dikembangkan sehingga meliputi pula Taman Madya, Prasarjana, dan Sarjana Wiyata. Dengan demikian Taman Siswa telah meliputi semua jenjang persekolahan, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Ki Hadjar Dewantara juga mengajarkan semboyan kepada pendidik yaitu:
* Ing ngarsa sung tuladha    : Memberikan teladan kepada peserta didik ketika berada di depan.
* Ing madya mangun karsa  : Membangun semangat kepada peserta didik ketika berada ditengah.
            * Tut wuri handayani           : Mengarahkan peserta didik agar tidak salah bertindak ketika berada di belakang.
 Ketiga prinsip ini digabung menjadi satu rangkaian/ungkapan utuh: Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, yang sampai sekarang masih tetap dipakai sebagai panduan dan pedoman dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Dengan gambaran diatas, maka Taman Siswa, terutama di bidang pendidkan dan kebudayaan, telah memberikan andil yang sangat besar terhadap pendidikan nasional. Bahkan UU Pendidikan No. 4 tahun 1950 praktis telah mencakup semua prinsip Taman Siswa. Pada dewasa ini, Taman Siswa tetap berkembang. Meskipun cabang-cabang dan lembaga-lembaga pendidikannya tidak seluas dan sepopuler Muhammadiyah, perguruan Taman Siswa dengan ciri khas Nasionalisme dan kebudayaannya tetap memberikan corak pada pendidikan nasional. Saat ini, perguruan Taman Siswa menyelenggarakan pendidikan mulai tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi yang cabangnya tersebar di sejumalah kita di Indonesia, seperti yang disebutkan oleh H. Dinn Wahyudin (2007).
2.      Indonesische Nederlandsche School ( INS ) Kayutanam
Kayutanam adalah suatu kota kecil yang berada dekat dengan Padang Panjang. Di sanalah pada tahun 1926 didirikan Indonesische Nederlandsche School (INS), yang kemudian dikenal dengan INS Kayutaman. Pendirinya adalah Muhammad Syafei (1896-1966) bersama Marah Seotan. Sekolah tersebut semula di bawah pembinaan Organisasi Pegawai Kereta Api dan Tambang Ombilin.
Pada awal didirikan, INS mempunyai asas-asas seperti, berpikir logis dan rasional, keaktifan atau kegiatan, pendidikan masyarakat, memperhatikan pembawaan anak, dan menentang intelektualisme. Dasar-dasar tersebut kemudian disempurnakan dan mencakup berbagai hal, seperti: syarat-syarat pendidikan yang efektif, tujuan yang ingin dicapai, dan sebagainya.

Sekolah ini didirikan sebagai tanggapan terhadap pendidikan Belanda yang berlangsung pada saat itu yang oleh Muhammad Syafei dinilai intelektualistik dengan mementingakan kecerdasan dan kurang memperhatikan pemupukan bakat-bakat anak. Selain itu tujuan INS yang lain, adalah mendidik rakyat ke arah kemerdekaan, memberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mendidik para pemuda agar berguna untuk masyarakat, menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan berani bertanggung jawab, mengusahakan mandiri dalam pembiayaan. 
Melalui INS yang didirikannya ia berusaha agar para siswa tidak menjadi cendekiawan setengah matang yang angkuh, tetapi menjadi pekerja cekatan yang rendah hati. Di INS, para siswa dididik untuk bekerja teratur dan produktif agar dapat hidup mandiri. Para siswa mendapatkan mata pelajaran Kerja Tangan atau Keterampilan, Ilmu Bumi, Ilmu Alam dan Menggambar untuk mempertajam pengamatan. Olahraga yang mendapatkan tempat khusus di INS diajarkan sebagai wahana untuk membuat anak-anak sehat dan kuat. Kemudian Bahasa diajar sebagai alat berpikir secara teratur.
Fasfalah atau semboyan yang mendasari gagasannya adalah “ Tuhan tidak sia-sia menjadikan manusia dan alam lainnya. Masing-masing mesti berguna dan kalau tidak berguna itu disebabkan kita tidak pandai menggunakannya “, seperti yang dikutip dari Republik Indonesia Provinsi Sumatera Tengah, penerbitan Kementrian Penerangan. INS Kayutanam mengembangkan system persekolahannya dengan didasarkan atas “aktivitas” dan bertujuan untuk “ melahirkan dan memupuk semangat bekerja dan percaya kepada diri sendiri “.
Di samping perkembangan atas dasar prinsip-prinsip pedagosis, INS juga memupuk semngat nasionalisme dikalangan para siswanya. Hal ini tampak dari tujuan pendidikannya yaitu agar siswa dapat berdiri sendiri dan tidak perlu mencari jabatan di kantor pemerintahan yang saat itu dikuasai oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Muhammad syafe’I menunjukan sifat sebagai pendidik yang demokratis dan member kesempatan kepada peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menurut garis masing-masing yang ditentukan oleh bakat dan pembawaanya. Kemudian dengan kecakapannya itu, anak dapat berdiri sendiri dan tidak perlu menggantungkan diri terhadap orang lain.
Prinsip tidak menggantungkan diri pada orang lain juga dianut oleh Muhammad Syafe’I sendiri yang menolak tawaran pemerintah Belanda untuk menerima bantuan. Pengembangan lembaga pendidikannya diusahakan atas dasar “ self-help “ (mandiri) dengan mengumpulkan uang melalui pertunjukan, pameran hasil karya murid-murid, dan penjualan hasil kerja mereka. Hanya pemberian yang tidak mengikat seacara moral yang diterimanya.
Menurut H Dinn Wahyudin (2007), meskipun gagasan dan prektek pendidikannya bagus, sistem persekolahan yang dikembangkan oleh INS Kayutanam tidak berkembang di luar daerahnya. Para lulusan yang dihasilkan juga tidak cukup mendapat bekal untuk mendapatkan tempat di masyarakat sehingga dapat dikatakan keuntungan pendidikan hanya dirasakan oleh perorangan siswa. Semangat nasionalisme dan non-kooperasi dengan Belanda, yang dipupuk INS Kayutanam, memang mampu membangkitkan keengganan untuk bekerja di kantor pemerintahan yang dikendalikan Belanda. Pengorbanan yang diminta adalah bekerja keras tanpa bantuan dari pihak manapun yang mengikat. Hal ini berarti bahwa para pendidik dituntut untuk hidup sedrhana dan mungkin serba kekurangan.
INS Kayutaman bertahan hingga masa pendudukan Jepang, dan pada masa Perang Kemerdekaan ( tahun 1949 ) INS Kayutaman ditutup. Muhammad Syafe’I sendiri setelah tidak menangani INS, ditunjuk Kepala Sekolah Guru Bantu ( SGB ). Ia tutup usia pada tahun 1966. Pada dewasa ini, ada usha yang sungguh-sungguh dengan didukung oleh para pejabat dan tokoh yang peduli untuk menghidupkan kembali nilai-nilai dan praktek-praktek pendidikan model INS Kayutaman yang pernah berkembang di masa jayanya, dengan tetap menempatkan dalam system pendidikan nasional yang berlaku.

Daftar Pustaka
Wahyudin, H. Dinn. 2007. Materi Pokok Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Wahab, Rohmad. 1999. Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. DEPDIKNAS
Arifin, Muhammad dan Rasyad, Aminudin. 1992. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sponsor