A.
Aliran Klasik
Menurut
Rohmad Wahab (1999) sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan
memiliki nuansa berbeda antara satu daerah dan daerah lain, sehingga banyak
bermunculan pemikiran-pemikiran yang dianggap sebagai penyesuaian proses
pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan. Karenanya, banyak teori yang
dikemukakan para pemikir yang bermuara pada munculnya berbagai aliran
pendidikan.
1.
Aliran Empirisme
Tokoh aliran Empirisme
adalah John Locke, filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704.
Teorinya dikenal dengan Tabulae Rasae (meja lilin) yang menyebutkan anak yang
lahir ke dunia seperti kertas putih yang bersih. Kertas putih akan mempunyai
corak dan tulisan yang digores oleh lingkungan. Faktor bawaan dari orangtua
(faktor keturunan) tidak dipentingkan. Pengalaman diperoleh oleh anak melalui hubungan
dengan lingkungan (sosial, alam,dan budaya). Pengaruh empiris yang diperoleh
dari lingkunagan berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Menurut aliran ini,
pendidik sebagai faktor luar memegang peranan sangat penting, sebab pendidik
menyediakan lingkunga pendidikan bagi anak, dan anak akan menerima pendidikan
sebagai pengalaman. Pengalaman tersebut akan membentuk tingkah laku, sikap,
serta watak anak sesuai tujuan pendidikan yang diharapkan, hal ini berdasarkan
pendapat Rohmad Wahab (1999).
Misalnya : Ketika dua anak kembar sejak lahir
dipisahkan dan dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Satu dari mereka dididik di desa oleh keluarga petani golongan
miskin, yang satu dididik di lingkungan keluarga yang kaya yang hidup di kota
dan disekolahkan di sekolah yang modern. Ternyata pertumbuhannya tidak sama.
Menurut Rohman Wahab kelemahan aliran ini adalah hanya
mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir
dikesampingkan. Padahal ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan
tidak mendukung.
2.
Aliran Nativisme
Tokoh aliran
Nativisme adalah Schopenhauer. Ia adalah filosof Jerman yang hidup pada tahun 1788-1880. Aliran ini
berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor bawaan sejak
lahir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan
perkembangan anak. Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang
dibawa sejak lahir dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar
ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian, menurut aliran
ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme
berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat,
dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, maka ia akan menjadi baik.
Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat tidak akan berguna bagi
perkembangan anak tersebut.
Pandangan itu tidak menyimpang dari
kenyataan. Misalnya, anak mirip orang tuanya secara fisik dan akan mewarisi
sifat dan bakat orang tua. Prinsipnya, padangan Nativisme adalah pengakuan
tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahirke dunia,
yaitu daya-asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu
daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan
dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang
tumbuh dan berkembang sampai titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang
hanya sampai pada titik tertentu.
Akan tetapi
aliran Nativisme ini tidak sepenuhnya benar, karena lingkungan dan didikan
membawa pengaruh besar terhadap perkembangan anak juga. Misalnya ada seorang
anak manusia yang hidup diabaw asuhan gorilla. Seperti Tarzan, Tarzan sejak
bayi hidup di hutan belantara yang berbahaya. Tarzan tetap hidup atas bantuan
gorilla sebagai induknya. Akhirnya, Tarzan mempunyai gaya hidup, bicara, ungkapan
bahasa dan watak seperti gorilla, padahal dia adalah manusia.
3.
Aliran Naturalisme
Tokoh aliran ini
adalah J.J Rousseau. Ia adalah filosof Prancis yang hidup tahun 1712-1778.
Naturalisme memilik pandangan bahwa setiap manusia yang lahir di dunia memiliki
pembawaan baik, namun pembawaan tersebut akan menjadi rusak karena pengaruh lingkungan,
sehingga aliran Naturalisme sering disebut Negativisme.
Menurut M. Arifin dan Aminuddin (1992), Naturalisme
memiliki tiga prinsip tentang proses pembelajaran yaitu :
a.
Anak didik
belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi interaksi antara
pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan perkembangan di dalam dirinya
secara alami.
b.
Pendidik hanya
menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik berperan sebagai
fasilitator atau narasumber yang menyediakan lingkungan yang mamapu mendorong
keberanian anak didik kea rah pandangan yang positif dan tanggap terhadap
kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik. Tanggung jawab
belajar terletak pada diri anak sendiri.
c.
Program
pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan
menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi kepada pola belajar anak
didik. Anak didik secara bebas diberi kesempatan untuk menciptakan lingkungan
belajarnya sendiri sesuai dengan minat dan perhatiannya.
Dengan demikian, aliran Naturalisme menitikberatkan
pada strategi pembelajaran yang bersifat paedosentris; artinya, faktor
kemampuan individu anak didik menjadi pusat kegiatan proses mengajar.
4.
Aliran
Konvergensi
Tokoh aliran
Korvegensi adalah William Stern. Ia seorang tokoh pendidikan Jerman yang hidup
di tahun 1871-1939. Aliran Korvegensi merupakan kompromi atau kombinasi dari
aliran Nativisme dan Empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa anak lahir di
dunia ini telah memiliki bakat baik dan buruk, sedangkan perkembangan anak
selanjutnya akan dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi, faktor pembawaan dan
lingkungan sama-sama berperan penting.
Anak yang memiliki pembawaan baik dan didukung oleh
lingkungan yang baik akan menjadi semakin baik. Sedangkan bakat yang dibawa
sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan yang
sesuai bagi perkembangan bakat itu sendiri. Sebaliknya, lingkungan yang baik
tidak dapat menghasilkan perkembangan anak secara optimal jika tidak didukung
oleh bakat baik yang dibawa anak.
Dengan demikian, aliran Korvegensi menganggap bahwa
pendidikan sangat bergantung pada faktor pembawaan atau bakat dan lingkungan Hanya
saja Wiliian Stern tidak menyebutkan seberapa perbandingan pengaruh krdua
faktor tersebut. Sampai sekarang pengaruh dari kedua faktor tersebut belum bisa
ditentukan.
B.
Gerakan Baru Dalam
Pendidikan
1.
Pengajaran Pusat Perhatian (Ovide Decroly)
Menurut
Firdaus Rahmatullah (2010) pengajaran pusat perhatian dirintis oleh Ovide Declory (1871-1932) yang berasal
dari Belgia. Dia adalah
seorang
dokter perancis mendirikan yayasan untuk anak-anak abnormal yang bertempat
dirumahnya pada tahun1901. Pada tahun1907
metodenya diterapkan pada anak-anak normal. Pengajaran
disusun menurut pusat perhatian anak, yang dinamai centres d’interet. Pendidikan menurut Declory berdasar pada semboyan ecois pour ia vie, par la vie (sekolah
untuk hidup dan oleh hidup).
Decroly mencari dan menyelidiki naluri anak dalam pertumbuhannya (secara
intrinsik). Berangkat dari naluri tersebut selanjutnya disusun pusat perhatian.
Ovide Decroly berpendapat anak harus dididik untuk dapat hidup
dalam masyarakat dan dipersiapkan dalam masyarakat, anak harus diarahkan.Oleh
karena itu, anak harus mempunyai pengetahuan terhadap diri sendiri (tentang
hasrat dan cita-citanya) dan pengetahuan tentang dunianya (lingkungannya,
terdapat hidup di hari depannya). Pengetahuan anak harus bersifat subjektif dan
objektif.
Anak-anak mempunyai minat spontan
terhadap diri sendiri. Minat spontan terhadap diri sendiri itu dibedakan menjadi
dua yaitu dorongan untuk mempertahankan diri dan dorongan mencari makan dan
minum. Selain itu
anak-anak mempunyai minat spontan terhadap masyarakat pula. Minat spontan
terhadap masyarakat dibedakan menjadi dua yaitu dorongan sibuk main-main dan
dorongan untuk meniru orang, seperti yang dikemukakan oleh Firdaus Rahmatullah
(2010).
Pengajaran
pusat perhatian mempuntai beberapa asas-asas, yaitu :
·
Pengajaran ini didasarkan atas kebutuhan anak alam hidup dan perkembangannya.
·
Setiap beban pengajaran harus merupakan keseluruhan, tidak
mementingkan bagian tetapi mementingkan keberartian dari keseluruhan ikatan
bagian itu.
·
Hubungan keseluruhan itu adalah hubungan simbiosis.
·
Anak didorong dan dirangsang untuk selalu aktif dan didik
untuk menjadi anggota masyarakat yang dapat berdiri sendiri dan bertanggung
jawab.
· Harus ada hubungan kerjasama yang erat antara rumah dan keluarga.
2.
Sekolah Kerja
(George Kerschensteiner)
Menurut
Fidaus Rahmatullah (2010) sekolah kerja merupakan titik kulminasi dari pandangan yang mementingkan
keterampian dalam pendidikan. J.A. Comenius (1592-1670) menekankan agar
pendidikan mengembangkan pikiran, ingatan, bahasa dan tangan (keterampilan
kerja tangan). Bapak sekolah kerja, G.Kereschensteiner (1854-1932) adalah seorang guru ilmu pasti yang
diangkat sebagai inspektur di Munchen. Dia mengembangkan pengajaran arbeitesschule (sekolah kerja) di Jerman.
Sekolah kerja ini bertolak dari
pandangan bahwa pendidikan itu tidak hanya demi kepentingan individu tetapi
berkewajiban menyiapkan warga negara yang baik, yakni:
·
Tiap orang adalah pekerja dalam salah satu lapangan jabatan
·
Tiap orang wajib menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan
negara
· Dalam menunaikan kedua tugas tersebut
haruslah selalu diusahakan kesempurnaannya, agar dengan jalan itu tiap warga
negara ikut membantu mempertinggi dan menyempurnakan kesusilaan dan keselamatan
negara
Menurut G.Kereschensteiner tujuan
sekolah kerja adalah menambah pengetahuan anak, yaitu pengetahuan yang
dididapat dari buku atau orang lain, dan yang didapat dari pengalaman sendiri.
Selain itu agar anak dapat memiliki kemampuan dan kemahiran tertentu. Dan yang
terakhir adalah agar
anak dapat memiliki pekerjaan sebagai persiapan jabatan dalam mengabdi negara.
Kereschenteiner berpendapat bahwa
kewajiban utama sekolah adalah mempersiapkan anak-anak untuk dapat bekerja. Karena
banyaknya macam pekerjaan yang menjadi pusat pelajaran, maka dibagi menjadi
tiga golongan besar yaitu, sekolah-sekolah perindustrian, sekolah-sekolah
perdagangan dan sekolah-sekolah rumah tangga, yang bertujuan mendidik para
calon ibu yang diharapkan akan menghasilkan warga negara yang baik. Pengikut
G.Kereschensteiner antara lain: Leo de Paeue, seorang dirjen pengajaran normal
di Belgia. Ia membuka lima sekolah kerja juga seperti sekolah teknik kerajinan,
sekolah dagang, sekolah pertanian bagi anak laki-laki, sekolah rumah tangga
kota, sekolah rumah tangga desa.
Pengajaran sekolah kerja ini
mempunyai dasar- dasar, yaitu :
·
Di dalam sekolah kerja anak aktif berbuat.
·
Pusat kegiatan pendidikan dan pengajran ialah anak.
·
Sekolah kerja mendidik anak menjadi pribadi yang berani
berdiri sendiri dan bertanggungjawab sebagai anggota masyarakat yang baik.
·
Bahan pelajaran disusun dalam suatu keseluruhan yang berpusat
pada masalah kehidupan.
·
Sekolah kerja tidak mementingkan pegetahuan yang bersifat
hafalan atau hasil peniruan, melainkan pengetahuan fungsional dan dapat
dipergunakan untuk berprakarsa, mencipta dan berbuat.
·
Pendidikan kecerdasan tidak dapat diberikan dengan
memberitahukan atau menceritakannya kepada anak melainkan anka sendiri yang
harus menjalani proses berfikir sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
·
Sekolah kerja merupakan suatu bentuk masyarakat kecil yang
didalamnya anak-anak mendapatkan latihan dan pengalaman yang amat penting
artinya bagi pendidikan moral, sosial, dan kecerdasan.
3.
Pengajaran Proyek
(John Dewey dan W.H. Kilpatrick )
Dasar filosofis dan pedagosis
diletakkan pada John Dewey (1859-1952) namun pelaksanaannya dilakukan oleh
W.H.kilpartrick. Dalam pengajaran proyek anak bebas menentukan pilihannya,
merancang serta memimpinya. Proyek yang ditentukan oleh anak
mendorongnya mencari jalan pemecahan bila dia menemui kesukaran. Anak dengan
sendirinya giat dan aktif karena sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dalam pengajaran proyek, pekerjaan
dikerjakan secara berkelompok untuk menghidupkan rasa gotong-royong.
Pengajaran proyek digunakan sebagai
salah satu metode mengajar di Indonesia, yang perlu ditekankan bahwa pengajaran
proyek akan menumbuhkan kemampuan untuk memandang dan memecahkan persoalan
secara komprehensif.
Langkah-langkah pokok pengajaran proyek ada tiga, yaitu persiapan, kegiatan belajar dan penilaian.
Langkah-langkah pokok pengajaran proyek ada tiga, yaitu persiapan, kegiatan belajar dan penilaian.
4.
Pengajaran Alam Sekitar (Jan Lighthart dan Fr. A. Finger)
Menurut
Firdaus Rahmatullah (2010), gerakan pendidikan yang mendekatkan anak dengan sekitarnya
adalah gerakan pengajaran alam sekitar. Pengajaran alam sekitar dinamakan
“Pengajaran barang sesungguhnya”. Perintis gerakan ini antara lain :
Fr. A.Finger (1808-1888) Jerman dengan heimatkunde
(pengajaran alam sekitar), dan J. Ligthart (1859-1916)di Belanda dengan Het Volle Leven (kehidupan senyatanya). J. Lihgthar
menekankan bahwa di dalam
pelaksanaan pengajran yang terpenting adalah suasananya, yaitu ketulus-iklasan,
kasih sayang, persaudaraan dan kepercayaan. Pengajaran alam sekitar merupakan benih
bagi berkembangnya pengajaran pusat perhatian, sekolah kerja dan pengajaran proyek.
Beberapa prinsip gerakan heimatkunde adalah :
·
Dengan pengajaran alam sekitar itu guru dapat meragakan
secara langsung.
·
Pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan
sebanyak-banyaknya agar peserta didik aktif atau tidak hanya duduk, dengar dan
catat saja.
·
Pengajaran alam sekitar memungkinkan untuk memberikan
pengajaran totalitas.
·
Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apresiasi
intektual yang kukuh dan tidak verbalistis.
·
Pengajaran alam sekitar memberikan apresiasi emosional,
karena alam sekitar mempunyai ikatan emosional dengan anak.Untuk anak ataupun
orang dewasa alam sekitar merupakan sebagian dari hidupnya sendiri, dalam duka
maupun suka.
Ciri-ciri pengajaran alam sekitar
adalah :
·
Suatu pengajaran yang tidak mengenal pembagian mata
pelajaran dalam daftar pengajaran, tetapi guru memahami tujuan pengajaran dan
mengarahkan usahanya mencapai tujuan.
·
Suatu pengajaran menarik minat, karena segala sesuatu
dipusatkan atas suatu bahan pengajaran yang menarik perhatian anak dan diambil
dari alam sekitarnya.
·
Suatu pengajaran yang memungkinkan segala bahan pengaajaran
itu berhubungan satu sama lain seerat-eratnya secara teratur.
·
Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi
intelektual yang kokoh dan tidak verbalitas.
·
Pengajaran alam sekitar memberikan apersepsi emosional,
karena alam sekitar mempunyai ikatan emosional dengan anak.
Demikianlah alam sekitar sebagai
fundamen pendidikan dan pengajaran memberikan dasar emosional.Sedangkan J.
Lingthart mengemukakan pegangan dalam Het Volle leven sebagai
berikut :
·
Anak harus mengetahui barangya terlebih dahulu sebelum
mendengar namanya, tidak kebalikanya sebab kata itu hanya suatu tanda dari pengertian
tentang barang itu.
·
Pengajaran sesungguhnya harus mendasarkan pada pengajaran
selanjutnya atau mata pengajaran yang lain harus dipusatkan atas pengajaran
itu.
· Haruslah diadakan perjalanan
memasuki hidup senyatanya agar murid paham akan hubungan antara macam-macam
lapangan dalam hidupnya (pengajaran alam sekitar).
Langkah-langkah pokok pengajaran alam sekitar, yaitu :
·
Menetapkan tujuan, yang harus diperhatikan ialah kemampuan
dan tingkat perkembangan anak
·
Persiapan perlu dilakukan, baik persiapan guru maupun
persiapan murid
·
Jika langkah pelaksanaan tela ditangani dengan baik, maka
pelaksaan pengamatan dapat berjalan dengan lancar
·
Langkah pengolahan tidak harus dilakukan di luar proses
kegiatan pengamatan it sendiri.
Keuntungan Pengajaran Alam Sekitar adalah pengajaran ini menentang verbalisme dan intelektualisme, objek alam dapat membangkitkan
spontan anak-anak yang akan mendorongnya melakukan kegiatan dengan sepenuh hati, anak-anak selalu didorong untuk aktif
dan kreatif dan anak-anak
dijadikan subjek bagi alam sekitarnya.
C.
Dua Aliran Pokok Pendidikan
di Indonesia
1.
Perguruan
Kebangsaan Taman Siswa
Menurut H. Dinn Wahyudin (2007) Perguruan
Kebangsaan Taman
Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara (Suwardi
Suryaningrat) pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta,yakni dalam bentuk yayasan.
Taman Siswa secara jelas menunjukan sifatnya yang nasionalis dan pedadogis
serta cultural. Walaupun bukan suatu organisasi politik, Taman Siswa sejak
pendiriannya memilki tujuan politik, yaitu kemerdekaan Indonesia. Tujuan ini
jelas dari pertimbangan Ki Hajar Dewantara, pendirinya, sewaktu berada di
pengasingan di Negeri Belanda untuk mendalami masalah pendidikan. Menurut Ki
Hajar, rakyat Indonesia harus benar-benar menyadari arti kehidupan berbangsa
dan bertanah air melalui pendidikan. Taman Siswa mencita-citakan terciptanya pendidikan nasional,
yaitu pendidikan yang beralas kebudayaan sendiri. Dalam pelaksanaanya
pendidikan Taman Siswa akan mengikuti garis kebudayaan nasional dan berusaha
mendidik angkatan muda di dalam jiwa kebangsaan.
Dalam
perkembangan selanjutnya Taman Siswa melengkapi “ Asas 1922 “ dengan
“Dasar-Dasar 1947 “ yang disebut pula “
Panca Dharma Taman Siswa”. Kelima dasar
Taman Siswa tersebut (Ki Mangunsarkoro,
1952, dari Wawasan Kependidikan Guru. 1982: 153-154) adalah:
1)
Asas kemerdekaan harus
diartikan disiplin pada diri sendiri oleh diri sendiri as dasar nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai
individu maupun anggota masyarakat. Maka itu Kemerdekaan menjadi alat
mengembangkan pribadi yang kuat dan sadar dalam suatu perimbangan dan
keselarasan dengan masyarakat tertib damai i tempat keanggotaannya.
2)
Asas kodrat
alam pada hakikatnya manusia itu sebagai makhluk adalah
satu dengan kodrat alam. Ia tidak bisa lepas dari kehendaknya, tetapi akan
mengalami bahagia jika bisa menyatukan diri dengan kodrat alam. Pendidikan Taman Siswa mengakui hak-hak anak untuk
bebas yang dinyatakan tidak tanpa batas. Batas itu antara lain adalah
lingkungan dan kebudayaan. Pengakuan atas hak-hak anak untuk kebebasan berarti
anak diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang menurut bakat dan
pembawaannya, atau dalam istilah Ki Hajar Dewantara, menurut kodratnya seperti
tersimpul dalam asas Taman Siswa “ kodrat alam “, begitulah menurut H. Dinn Wahyudin (2007).
Pengakuan atas kebebasan anak adalah suatu prinsip
pendidikan yang sangat pokok pada Taman Siswa. Prinsip demokrasi dikembangkan
oleh Ki Hajar Dewantara dengan pengertian seperti berikut :
1.
Anak dalam
pendidikan merupakan pusat perhatian pendidik. Dalma pertumbuhan dan
perkembangan yang terus berjalan, lingkungan anak makin luas dan segala sesuatu
yang dijumpainya akan dijadikan milkinya. Hal ini kemudian melahirkan prinsip kosentris, kontinue, dan konvergen yang
terkenal dengan istilah “tri-kon”.
2.
Musyawarah
sebagai prinsip demokrasi tetapi menghargai pimpinan. Ki Hajar Dewantara
menyebutnya “democratie met leiderschap”. Ki Hajar Dewantara menganggap
perlu ada suatu kewajiban yang pada suatu ketika mengarah pada musyawarah atau
mufakat.
3.
Dasar demokrasi
yang mengakui hak anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya telah
melahirkan metode “among” dengan
semboyannya “tut wuri handayani” yang
kemudian diadopsi menjadi semboyan pendidikan nasional. Dasar demokrasi telah
membawa Taman Siswa menjadi tidak kaku dan melahirkan prinsip hidup
kekeluargaan yang dikalangan Taman Siswa dipraktekan dengan sungguh-sungguh.
3)
Asas kebudayaan Taman Siswa tidak berarti asal
memelihara kebudayaan kebangsaan itu kearah kemajuan yang sesuai dengan
kecerdasan zaman, kemajuan dunia,dan kepentingan hidup rakyat lahir dan batin
tiap-tiap zaman dan keadaan.
4)
Asas
kebangsaan, Taman Siswa tidak boleh bertentangan dengan
kemanusiaan, malahan harus menjadi bentuk dan fiil kemanusiaan yang nyata dan
oleh karena itu tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain, melainkan
mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, rasa satu dalam suka dan duka, rasa
satu dalam kehendak menuju pada kebahagian hidup lahir dan batin seluruh
bangsa.
5)
Asas
kemanusiaan menyatakan bahwa darma tiap-tiap manusia itu adalah
mewujudkan kemanusiaan, yang berarti kemajuan manusia lahir dan batin yang
setinggi-tingginya, dan juga bahwa kemajuan kemanusiaan yang tinggi itu dapat
dilihat pada kesucian hati orang dan adanya rasa- kasih terhadap sesama manusia
dan terhadap makhluk Tuhan seluruhnya, tetapi cinta-kasih yang tidak bersifat
kelembekan hati,melainkan bersifat keyakinan adanya hukum kamajuan yang na
meliputi alam semesta. Karena dasar cinta-kasih kemanusiaan itu harus tampak
pula sebagai kesimpulan untuk berjuang melawan segala sesuatu yang merintangi
kemajuan selaras dengan kehendak alam
Pada
waktu pertama kali didirikan, sekolah Taman Siswa ini diberi nama
"National Onderwijs Institut Taman Siswa", yang merupakan realisasi
gagasan beliau bersama-sama dengan teman di paguyuban (Sloso Kliwon). Sekolah
Taman Siswa ini sekarang berpusat di balai Ibu Pawiyatan (Majelis Luhur) di
Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, dan mempunyai 129 sekolah cabang di berbagai
kota di seluruh Indonesia. ,yakni dalam bentuk
yayasan, selanjutnya mulai
didirikan Taman Indria (Taman kanak-kanak) dan Kursus Guru, selanjutnya Taman
Muda (SD), disusul Taman Dewasa merangkap Taman Guru (Mulo-Kweekschool).
Sekarang ini, telah dikembangkan sehingga meliputi pula Taman Madya,
Prasarjana, dan Sarjana Wiyata. Dengan demikian Taman Siswa telah meliputi
semua jenjang persekolahan, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
Ki Hadjar Dewantara juga mengajarkan
semboyan kepada pendidik yaitu:
* Ing ngarsa sung tuladha : Memberikan teladan kepada peserta didik
ketika berada di depan.
* Ing madya mangun karsa : Membangun semangat kepada peserta didik
ketika berada ditengah.
*
Tut wuri handayani :
Mengarahkan peserta didik agar tidak salah bertindak ketika berada di belakang.
Ketiga prinsip ini
digabung menjadi satu rangkaian/ungkapan utuh: Ing ngarsa sung tulada, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani, yang sampai sekarang masih tetap
dipakai sebagai panduan dan pedoman dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Dengan gambaran diatas, maka Taman Siswa, terutama di
bidang pendidkan dan kebudayaan, telah memberikan andil yang sangat besar
terhadap pendidikan nasional. Bahkan UU Pendidikan No. 4 tahun 1950 praktis
telah mencakup semua prinsip Taman Siswa. Pada dewasa ini, Taman Siswa tetap
berkembang. Meskipun cabang-cabang dan lembaga-lembaga pendidikannya tidak
seluas dan sepopuler Muhammadiyah, perguruan Taman Siswa dengan ciri khas
Nasionalisme dan kebudayaannya tetap memberikan corak pada pendidikan nasional.
Saat ini, perguruan Taman Siswa menyelenggarakan pendidikan mulai tingkat taman
kanak-kanak hingga perguruan tinggi yang cabangnya tersebar di sejumalah kita
di Indonesia, seperti yang disebutkan oleh H. Dinn Wahyudin (2007).
2.
Indonesische
Nederlandsche School ( INS ) Kayutanam
Kayutanam adalah suatu kota kecil yang berada dekat
dengan Padang Panjang. Di sanalah pada tahun 1926 didirikan Indonesische Nederlandsche School (INS),
yang kemudian dikenal dengan INS Kayutaman. Pendirinya adalah Muhammad Syafei
(1896-1966) bersama Marah Seotan. Sekolah tersebut semula di bawah pembinaan
Organisasi Pegawai Kereta Api dan Tambang Ombilin.
Pada
awal didirikan, INS mempunyai asas-asas seperti, berpikir
logis dan rasional, keaktifan atau kegiatan, pendidikan masyarakat, memperhatikan pembawaan anak, dan
menentang
intelektualisme. Dasar-dasar tersebut kemudian disempurnakan dan
mencakup berbagai hal, seperti: syarat-syarat pendidikan yang efektif, tujuan
yang ingin dicapai, dan sebagainya.
Sekolah ini didirikan sebagai tanggapan terhadap
pendidikan Belanda yang berlangsung pada saat itu yang oleh Muhammad Syafei
dinilai intelektualistik dengan mementingakan kecerdasan dan kurang
memperhatikan pemupukan bakat-bakat anak. Selain itu tujuan INS yang lain, adalah mendidik rakyat ke arah kemerdekaan, memberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat,
mendidik para pemuda
agar berguna untuk masyarakat, menanamkan kepercayaan
terhadap diri sendiri dan berani bertanggung jawab, mengusahakan mandiri dalam pembiayaan.
Melalui
INS yang didirikannya ia berusaha agar para siswa tidak menjadi cendekiawan
setengah matang yang angkuh, tetapi menjadi pekerja cekatan yang rendah hati. Di INS, para siswa dididik untuk bekerja teratur dan
produktif agar dapat hidup mandiri. Para siswa mendapatkan mata pelajaran Kerja
Tangan atau Keterampilan, Ilmu Bumi, Ilmu Alam dan Menggambar untuk mempertajam
pengamatan. Olahraga yang mendapatkan tempat khusus di INS diajarkan sebagai
wahana untuk membuat anak-anak sehat dan kuat. Kemudian Bahasa diajar sebagai
alat berpikir secara teratur.
Fasfalah atau semboyan yang mendasari gagasannya
adalah “ Tuhan tidak sia-sia menjadikan manusia dan alam lainnya. Masing-masing
mesti berguna dan kalau tidak berguna itu disebabkan kita tidak pandai menggunakannya
“, seperti yang dikutip dari Republik Indonesia Provinsi Sumatera Tengah,
penerbitan Kementrian Penerangan. INS Kayutanam mengembangkan system
persekolahannya dengan didasarkan atas “aktivitas” dan bertujuan untuk “
melahirkan dan memupuk semangat bekerja dan percaya kepada diri sendiri “.
Di samping perkembangan atas dasar prinsip-prinsip
pedagosis, INS juga memupuk semngat nasionalisme dikalangan para siswanya. Hal
ini tampak dari tujuan pendidikannya yaitu agar siswa dapat berdiri sendiri dan
tidak perlu mencari jabatan di kantor pemerintahan yang saat itu dikuasai oleh
pemerintahan Kolonial Belanda. Muhammad syafe’I menunjukan sifat sebagai
pendidik yang demokratis dan member kesempatan kepada peserta didik untuk
tumbuh dan berkembang menurut garis masing-masing yang ditentukan oleh bakat
dan pembawaanya. Kemudian dengan kecakapannya itu, anak dapat berdiri sendiri
dan tidak perlu menggantungkan diri terhadap orang lain.
Prinsip tidak menggantungkan diri pada orang lain juga
dianut oleh Muhammad Syafe’I sendiri yang menolak tawaran pemerintah Belanda
untuk menerima bantuan. Pengembangan lembaga pendidikannya diusahakan atas
dasar “ self-help “ (mandiri) dengan
mengumpulkan uang melalui pertunjukan, pameran hasil karya murid-murid, dan
penjualan hasil kerja mereka. Hanya pemberian yang tidak mengikat seacara moral
yang diterimanya.
Menurut H Dinn Wahyudin (2007), meskipun gagasan dan
prektek pendidikannya bagus, sistem persekolahan yang dikembangkan oleh INS
Kayutanam tidak berkembang di luar daerahnya. Para lulusan yang dihasilkan juga
tidak cukup mendapat bekal untuk mendapatkan tempat di masyarakat sehingga
dapat dikatakan keuntungan pendidikan hanya dirasakan oleh perorangan siswa.
Semangat nasionalisme dan non-kooperasi dengan Belanda, yang dipupuk INS
Kayutanam, memang mampu membangkitkan keengganan untuk bekerja di kantor
pemerintahan yang dikendalikan Belanda. Pengorbanan yang diminta adalah bekerja
keras tanpa bantuan dari pihak manapun yang mengikat. Hal ini berarti bahwa
para pendidik dituntut untuk hidup sedrhana dan mungkin serba kekurangan.
INS Kayutaman bertahan hingga masa pendudukan Jepang,
dan pada masa Perang Kemerdekaan ( tahun 1949 ) INS Kayutaman ditutup. Muhammad
Syafe’I sendiri setelah tidak menangani INS, ditunjuk Kepala Sekolah Guru Bantu
( SGB ). Ia tutup usia pada tahun 1966. Pada dewasa ini, ada usha yang
sungguh-sungguh dengan didukung oleh para pejabat dan tokoh yang peduli untuk
menghidupkan kembali nilai-nilai dan praktek-praktek pendidikan model INS
Kayutaman yang pernah berkembang di masa jayanya, dengan tetap menempatkan
dalam system pendidikan nasional yang berlaku.
Daftar Pustaka
Wahyudin, H. Dinn. 2007.
Materi Pokok Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Wahab, Rohmad. 1999. Perkembangan dan
Belajar Peserta Didik. DEPDIKNAS
Arifin, Muhammad dan Rasyad, Aminudin. 1992. Dasar-dasar
Kependidikan. Jakarta: Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar