BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan pendidikan mensyaratkan perkembangan kemampuan siswa secara Optimal, dengan
kemampuan untuk berkreasi, mandiri, bertanggung jawab dan dapat memecahkan
masalah yang dihadapi. Sebagai individu, siswa memiliki berbagai potensi yang dapat
dikembangkan. Kenyataan yang dihadapi, tidak semua siswa menyadari potensi yang
dimiliki untuk kemudian memahami dan mengembangkannya. Disisi lain sebagai
individu yang berinterksi dengan lingkungan, siswa juga tidak dapat lepas dari
masalah.
Menyadari hal di atas siswa perlu
bantuan dan bimbingan orang lain agar dapat berindak dengan tepat sesuai dengan
potensi yang ada pada dirinya. Sekolah sebagai institusi pendidikan tidak hanya
berfungsi memberikan pengetahuan tetapi juga mengembangkan kesluruhan
kepribadian anak. Sebagai profesional guru memegang peran penting dalam
membantu murid mengembangkan seluruh aspek kepribadian dan lingkungannya.
BAB II
PEMBAHASAN
F. Prinsip-prinsip Operasional Bimbingan dan
Konseling di Sekolah
Prinsip ini mengatur landasan
teoritis pelaksanaan layanan bimbingan konseling. Terdapat empat prinsip yaitu
prinsip umum, prinsip yang berhubungan dengan individu yang dibimbing. Individu
pembimbing dan prinsip yang berkaitan dengan organisasi dan administrasi
bimbingan.
1. Prinsip umum antara lain mengatur tentang pengkajian masa lalu sebagai
pembentuk aspek kepribadian, pemahaman atas perbedaan karakter tiap individu,
bantuan diberikan agar individu mampu mandiri, bimbingan harus disesuaikan
dengan program pendidikan, bimbingan dipimpin orang yang profesional dan
terhadap program bimbingan harus selalu diadakan penilaian antara pelaksanaan
dan rencana yang dirumuskan.
2. Prinsip yang berkaitan dengan individu yang dibimbing: bimbingan
haruslah ditujukan pada seluruh siswa, ada kriteria prioritas layanan.
Bimbingan harus berpusat pada siswa, haruslah dapat memenuhi kebutuhan tiap
individu yang beragam. Keputusan terakhir haruslah pada klien dan klien
berangsung-angsur harus mampu untuk mandiri.
3. Prinsip bagi pembimbing meliputi kualifikasi yang memadai, kesempatan
mengembangkan diri lewat berbagai pelatihan. Pembimbing perlu memanfaatkan
semua sumber, berbagai metode dan teknik bimbingan bagi efektivitas pemberian
bantuan pada siswa. Konselor harus menjaga asas kerahasiaan klien.
4. Prinsip dalam organisasi dan administrasi bimbingan meliputi prinsip
kesinambungan, ada kartu pribadi bagi setiap siswa, bimbingan harus disesuaikan
dengan kebutuhan sekolah. Ada pembagian waktu yang baik, berbagai metode
bimbingan baik individual dan kelompok. Sekolah perlu bekerja sama dengan
lembaga lain diluar sekolah dan kepala sekolah memegang tanggung jawab
tertinggi dalam pelakasanaan bimbingan.
G. Asas-asas
Bimbingan dan Konseling
Asas
adalah segala hal yang harus dipenuhi dalam melaksanakan suatu kegiatan.
Menurut Prayitno ada beberapa asas yang harus diperhatikan:
1.
Asas Kerahasiaan
Asas ini
merupakan asas kunci, karena klien mampu mengungkap masalahnya pada orang yang
dipercaya klien. Dengan adanya keterbukan masalah akan dapat diselesaikan
dengan baik.
2.
Asas Keterbukaan
Asas ini
didasarkan atas asas kerahasiaan. Klien dan konselor perlu suasana keterbukaan
untuk mengungkapkan perasaan, pemikiran dan keinginan yang berkaitan dengan
permasalahan yang ingin diselesaikan.
3.
Asas kesukarelaan
Asas
ini lebih terkait dengan pribadi konselor. Konselor perlu memiliki sikap
sukarela dalam membantu menyelesaikan permasalahan klien. Dengan sikap sukarela
dari konselor klien akan dengan sukarela pula menceritakan dan mencari solusi
atas permasalahannya.
4.
Asas kekinian
Fokus pemecahan
permasalahan klien adalah pada masa saat ini. Apa yang saat ini dirasakan dan
menjadi permasalahan klien adalah hal yang perlu diselesaikan dalam pertemuan
konseling.
5.
Asas kegiatan
Konseling dapat
berlangsung baik apabila klien mau melaksanakan tugas yang diberikan. Konselor
hendaknya mampu memotivasi klien melakukan kegiatan yang disarankan dalam sesi
konseling demi tujuan penyelesaian masalah klien.
6.
Asas kedinamisan
Dinamis merupakan
perubahan menuju pada kemajuan yang terjadi pada klien. Konselor hrus
memberikan layanan yang sesuai dengan sifat keunikan tiap individu demi
perubahan ke arah perkembangan pribadi yang lebih baik.
7.
Asas keterpaduan
Dalam pemberian
layanan, konselor perlu memperhatikan aspek kepribadian klien yang diarahkan
untuk mencapai keharmonisan dan keterpaduan. Keterpaduan ini berkaitan dengan
aspek klien maupun mengenai keterpaduan isi dan proses layanan.
8.
Asas kenormatifan
Usaha layanan
tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlalu sehingga tidak terjadi
penolakan dari pihak yang dibimbing. Asas ini berkaitan dengan proses dan saran
atau keputusan yang dibahas dalam konseling.
9.
Asas keahlian
Proses konseling
harus dilakukan dengan profesional dan oleh orang yang profesional yang menntut
ketrampilan khusus dan terlatih untuk melakukan konseling.
10.
Asas alih tangan
Asas ini bertujuan
agar tidak terjadi pemberian layanan yang tidak tepat. Bila permasalahan klien
perlu penanganan dari ahli yang lain maka pengalihtanganan kepada pihak yang
lebih ahli perlu dilaksanakan.
11.
Asas tut wuri handayani
Makna layanan
bimbingan dan konseling tidak hanya berkaitan dengan permasalahan saat tertentu
melainkan makna tersebut tetap dirasakan oleh klien pada masa yang akan datang.
H. Orientasi Layanan
Bimbingan dan Konseling
1. Orientasi
Perseorangan
Dalam hal ini
individu diutamakan dan kelompok dianggap sebagai lapangan yang dapat
memberikan pengaruh tertentu terhadap individu. Dengan kata lain, kelompok
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kebahagiaan individu, dan
bukan sebaliknya. Pemusatan perhatian terhadap individu itu sama sekali tidak
berarti mengabaikan kepentingan kelompok; dalam hal ini kepentingan kelompok
diletakkan dalam kaitannya dengan hubungan timbal balik yang wajar
antarindividu dan kelompoknya. (Prayitno dan Amti, 2004:234-235) sejumlah
kaidah yang berkaitan dengan orientasi perorangan dalam bimbingan dan konseling
dapat dicatat sebagai berikut:
a. Semua kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka pelayanan bimbingan
dan konseling diarahkan bagi peningkatan perwujudan diri sendiri setiap
individu yang menjadi sasaran layanan.
b. Pelayanan bimbingan dan
konseling meliputi kegiatan berkenaan dengan individu untuk memahami
kebutuhan-kebutuhan, motivasi-motivasinya, dan kemampuan-kemampuan potensialnya,
yang semuanya unik, serta untuk membantu individu agar dapat menghargai
kebutuhan, motivasi, dan potensinya itu kea rah pengembangannya yang optimal,
dan pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi diri dan lingkungan.
c. Setiap klien harus diterima sebagai individu dan harus ditangani secara
individual(Rogers, dalam McDaniel, 1956).
d. Adalah menjadi tanggungjawab konselor untuk memahami minat, kemampuan,
dan persaan klien serta untuk menyesuaikan program-program pelayanan dengan
kebutuhan klien setepat mungkin. Tylor(1956) juga menyatakan bahwa kelas social
keluarga dapat menimbulkan terjadinya perbedaan individu.
Perbedaan latar
belakang kehidupan individu dapat mempengaruhinya dalam cara berpikir, cara
berperasaan, dan cara menganalisis data. Dalam layanan dan bimbingan konseling
ini harus menjadi perharian besar. Inilah yang dimaksud dengan orientasi
individual.
2. Orientasi
Perkembangan
Salah satu
fungsi bimbingan dan konseling adalah fungsi tersebut adalah pemeliharaan dan
pengembangan. Orientasi perkembangan dalam bimbingan dan konseling lebih
menekankan lagi pentingnya peranan perkembangan yang terjadi dan yang hendaknya
diterjadikan pada diri individu. Peranan bimbingan dan konseling adalah
memberikan kemudahan-kemudahan bagi gerak individu menjalani alur
perkembangannya. Pelayanan bimbingan dan konseling berlangsung dan dipusatkan
untuk menunjang kemampuan inheren individu bergerak menuju kematangan dalam
perkembangannya. Ivey dan Rigazio(dalam Mayers, 1992) menekankan bahwa
orientasi perkembangan justru merupakan ciri khas yang menjadi inti gerakan
bimbingan. Perkembangan merupakan konsep inti dan terpadukan, serta menjadi
tujuan dari segenap layanan bimbingan dan konseling. Selanjutnya ditegaskan
bahwa, praktek bimbingan dan konseling tidak lain adalah memberikan kemudahan
yang berlangsung perkembangan yang berkelanjutan. Permasalahan yang dihadapi
oleh individu harus diartikan sebagai terhalangnya perkembangan, dan hal itu
semua mendorong konselor dan klien bekerjasama untuk menghilangkan penghalang
itu serta mempengaruhi lajunya perkembangan klien.
Secara khusus,
Thompson&Rudolph(1983) melihat perkembangan individu dari sudut
perkembangan kognisi. Dalam perkembangannya, anak-anak berkemungkinan mengalami
hambatan perkembangan kognisi dalam empat bentuk:
a) Hambatan egosentrisme, yaitu
ketidakmampuan melihat kemungkinan laindi luar apa yang dipahaminya.
b) Hambatan konsentrasi, yaitu
ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian pada lebih dari satu aspek tentang sesuatu hal.
c) Hambatan reversibilitas,
yaitu ketidakmampuan menelusuri alur yang terbalik dari alur yang dipahami
semula.
d) Hambatan transformasi, ketidakmampuan meletakkan sesuatu pada
susunan urutan yang ditetapkan.
Thompson &
Rudolph menekankan bahwa tugas bimbingan dan konseling adalah menangani
hambatan-hambatan perkembangan itu.
3. Orientasi
Permasalahan
Dalam kaitannya
dengan fungsi-fungsi bimbingan dan konseling yang telah dibicarakan, orientasi
masalah secara langsung bersangkut-paut dengan fungsi pencegahan dan fungsi pengentasan.
Fungsi pencegahan menghendaki agar individu dapat terhindar dari
masalah-masalah yang mungkin membebani dirinya, sedangkan fungsi pengentasan
menginginkan agar individu yang sudah terlanjur mengalami maslaah dapat
terentaskan masalahnya. Melalui fungsi pencegahan, layanan dan bimbingan
konseling dimaksudkan mencegah timbulnya masalah pada diri siswa sehingga
mereka terhindar dari bernagai permasalahan yang dapat menghambat
perkembangannya. Fungsi ini dapat diwujudkan oleh guru pembimbing atau konselor
dengan merumuskan program bimbungan yang sistematis sehingga hal-hal yang dapat
menghambat perkembangan siswa kesulitan belajar, kekurangan informasi, masalah
sosial, dan sebagainya dapat dihindari. Roos L. Mooney (dalam Prayitno, 1987)
mengidentifikasi 330 masalah yang digolongkan ke dalam sebelas kelompok
masalah, yaitu kelompok masalah yang berkenaan dengan :
a. perkembangan
jasmani dan kesehatan (PJK)
b. keuangan,
keadaan lingkungan, dan pekerjaan (KLP)
c. kegiatan sosial
dan reaksi (KSR)
d. hubungan
muda-mudi, pacaran, dan perkawinan (HPP)
e. hubungan social
kejiwaan (HSK)
f. keadaan pribadi
kejiwaan (KPK)
g. moral dan agama
(MDA)
h. keadaan rumah
dan keluarga (KRK)
i. masa depan
pendidikan dan pekerjaan (MPP)
j. penyesuaian
terhadap tugas-tugas sekolah (PTS)
k. kurikulum
sekolah dan prosedur pengajaran (KPP)
Frekuensi
dialaminya masalah-masalah tersebut juga bervariasi. Satu jenis masalah
barangkali lebih banyak dialami, sedangakan jenis masalah lain lebih jarana
muncul. Frekuensi munculnya masalah-masalah itu diwarnai oleh berbagai kondisi
lingkungan.
I.
Kode Etik Bimbingan
dan Konseling
PROSES PADA
PELAYANAN
1. Hubungan
dalam Pemberian pada Pelayanan
a. Konselor wajib menangani konseli selama ada
kesempatan dalam hubungan antara konseli dengan konselor.
Dalam
konseling harus ada kesepakatan terlebih dahulu antara konselor dan konseling
kapan dan dimana konseling akan dilangsungkan. Hal itu berarti bahwa konseling
dilakukan ketika kedua belah pihak, yaitu konselor dan konseli memiliki
kesempatan waktu untuk bertemu untuk melangsungkan proses konseling.
b. Konseli sepenuhnya berhak untuk mengakhiri
hubungan dengan konselor, meskipun proses konseling belum mencapai suatu hasil
yang kongkret. Sebaliknya konselor tidak akan melanjutkan hubungan apabila
konseli ternyata tidak memperoleh manfaat dari hubungan itu.
Objek utama
dalam konseling adalah konseli, maka pantas ketika seorang konseli lebih banyak
dapat mengatur jalannya konseling. Namun bukan berarti hanya konseli yang dapat
mengatur jalannya konseling, seorang konselor juga dapat memberhentikan proses
konseling ketika dirasa proses konseling itu tidak membawa manfaat kepada
konseli.
2. Hubungan
dengan Konseli
a. Konselor wajib menghormati, harkat, martabat,
integritas, dan keyakinan konseli.
Konseli
dalam konseling adalah unsur yang sangat penting karena objek utama konseling
adalah konseli. Sehingga seorang konselor dituntut agar dapat menghargai dan
menghormati harkat, martabat, integritas, dan keyakinan konseli. Konselor tidak
dibenarkan memaksakan sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan seseorang kepada
konseli karena keyakinan adalah hak setiap manusia untuk memilikinya.
b. Konselor wajib menempatkan kepentingan
konselinya di atas kepentingan pribadinya.
Dalam
konseling memang seorang konselor dituntut untuk selalu mementingkan
kepentingan konseli terlebih dahulu di atas kepentingan pribadinya. Hal ini
dimaksudkan agar bimbingan atau pertolongan yang diberikan konselor kepada
konseli dapat segera dilakukan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang
tidak diinginkan.
Tetapi dalam
pelaksanaannya, seorang konselor perlu juga untuk mementingkan kepentingan
pribadinya selain kepentingan konseli. Seorang konseli juga seyogianya dapat
berempati dengan kesibukan seorang konselor agar proses konseling yang
dilakukan dapat berjalan dengan efektif dan tanpa beban.
c. Dalam menjalankan tugasnya, konselor tidak
mengadakan pembedaan konselor atas dasar suku, bangsa, warna kulit, agama atau
status sosial ekonomi.
Pernyataan
di atas sejalan dengan prinsip bimbingan dan konseling lintas budaya dimana
seorang konselor harus dapat menempatkan dirinya dimana ia berada dan latar
belakang dari konseli yang ditanganinya. Selain tidak diperkenankan membedakan
suku atau latar belakang konseli, seorang konselor juga seyogianya sedikit
mengerti budaya konseli agar terjadi keselarasan dalam proses konseling. Hal
ini juga dimaksudkan agar konselor memahami maksud-maksud tertentu dari konseli
mana kala seorang konseli menunjukkan bahasa atau kebiasaan dari budayanya
sendiri.
d. Konselor tidak akan memaksa untuk memberikan
bantuan kepada seseorang tanpa izin dari orang yang bersangkutan.
Hal ini
merupakan hal wajar dalam konseling karena proses konseling itu sendiri
dilakukan dalam keadaan sadar. Hal itu berarti proses konseling terjadi karena
ada kesepakatan terlebih dahulu dari kedua belah pihak, yaitu konselor dan
konseli. Pernyataan di atas juga dimaksudkan agar proses konseling berjalan
tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Jika proses konseling dilandasi dengan adanya
paksaan, maka tentunya konseling bukan merupakan wahana untuk membantu konseli
melainkan menjadi wahan penyiksaan bagi konseli karena merasa dirinya dipaksa
oleh konselor.
e. Konselor wajib memberikan pelayanan kepada
siapapun lebih-lebih dalam keadaan darurat atau apabila banyak orang yang
menghendaki.
Seorang
konselor perlu juga untuk mementingkan kepentingan pribadinya terlebih dahulu,
tetapi hal itu tidak berlaku jika konselor berada pada keadaan darurat.
Konselor wajib memberikan pelayanan kepada seseorang yang memang sangat
memerlukan sekali pelayanan tersebut agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak
terjadi pada konseli.
f. Konselor wajib memberikan pelayanan hingga
tuntas, sepanjang dikehendaki konseli.
Hal ini
tentu saja dimaksudkan agar tujuan konseling yang disepakati dapat tercapai
dengan baik. Pelayanana hingga tuntas bukan berarti melayani seorang konseli
hanya sekali pertemuan saja, melainkan beberapa kali pertemuan secara tuntas
dengan kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya.
g. Konselor wajib menjelaskan kepada konseli
sifat hubungan yang sedang dibina dan batas-batas tanggung jawab masing-masing
dalam hubungan profesional.
Hal ini
dimaksudkan agar konseli dapat memahami sejauh mana konselor dapat membantunya,
dan ranah-ranah mana saja yang tidak dapat dibantu oleh konselor. Hal ini juga
dimaksudkan agar tidak terjadi hal-hal buruk yang diakibatkan oleh
ketidakadaannya kesepakatan sebelumnya antara konselor dan konseli.
h. Konselor wajib mengutamakan perhatian terhadap
konseli, apabila timbul masalah dalam soal kesetiaan ini, maka wajib
diperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dan juga tuntutan profesinya
sebagai konselor.
Hal ini
berkaitan juga dengan poin f dimana seorang konselor harus memberikan pelayanan
sepanjang dikehendaki oleh konseli. Dengan adanya keharusan untuk menuntaskan
pelayanan maka secara otomatis perhatian dari seorang konselor tidak beloh
lepas dari konseli yang sedang dihadapinya agar perkembangan yang ditunjukkan
oleh konseli dapat diamati dengan seksama oleh konselor.
i. Konselor tidak dapat memberikan bantuan
profesional kepada sanak keluarga, teman-teman karibnya, sepanjang hubungan
profesional.
Seorang
konselor tidak boleh memberikan bantuan profesional kepada sanak keluarga dan
teman-temannya karena dikhawatirkan masuknya unsur-unsur emosi kekeluargaan
atau pertemanan ke dalam konseling. Tentunya hal ini dapat menghambat jalannya
proses konseling yang sedang berlangsung karena perhatian dalam konseling sudah
beralih kepada hubungan pertemanan dan kekeluargaan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bimbingan dan konseling merupakan proses yang berkesinambungan dalam membantu individu agar
dapat mengarahkan dan mengembangkan dirinya secara optimal sesuai kemampuannya
dan agar individu memahami diri dan menyesuaikan dengan lingkungannya. Di
sekolah, bimbingan dan konseling secara tidak langsung menunjang tujuan
pendidikan dengan menangani masalah dan memberikan layanan secara khusus pada
siswa, agar siswa dapat mengembangkan dirinya secara penuh.
Tujuan bimbingan di sekolah ialah membantu siswa dalam mengatasi kesulitan belajar. Megatasi kebiasaan yang tidak baik
dalam belajar dan hubungan sosial. Mengatasi kebiasaan yang tidak baik dalam
belajar dan hubungan sosial, mengatasi kesulitan dengan kesehatan jasmani,
masalah kelanjutan studi, kesulitan yang berhubungan dengan perencanaan dan
pemilihan pekerjaan.
Secara ideal program bimbingan dan
konseling di sekolah dilaksanakan secara berkesinambungan mulia dari TK
sehingga jenjang pendidikan tinggi. Hal ini terkait dengan kebutuhan dan
perkembangan anak untuk setiap jenjang pendidikan berbeda. Dalam menentukan dan
menyusun program bimbingan di tingkat pendidikan tertentu, perlu memperhatikan
rambu-rambu berikut:
- Menyusun tujuan jenjang
pendidikan tertentu.
- Menyusun tugas
perkembangan dan kebutuhan siswa pada tahap usia tertentu
- Menyusun pola dasar sebagai pedoman dalam memberikan layanan
- Menyusun pola dasar sebagai pedoman dalam memberikan layanan
- Menentukan komponen bimbingan
yang diprioritaskan
- Menentukan bentuk bimbingan yang
diutamakan
- Menentukan tenaga bimbingan yang dapat dimanfaatkan misalnya
konselor, guru dan tenaga ahli lainnya.
Daftar
Pustaka
Bolla, John I.
1984. Supervisi Klinis. Jakarta:
Depdikbud
Depdikbud RI.
1976. Kurikulum Sekolah 1975, Garis – Garis Besar Program Pengajaran. Buku III D, Pedoman Administrasi dan Supervisi.
Jakarta: Balai Pustaka.
1984. Pedoman Pembinaan Guru Mata Pelajaran
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Balitbang Dikbud
Goldhammer, Robert; Anderson, Robert H.; Krajewski Robert J.. 1980.
Clinical Supervision: Special Methods for
the Supervision of Teachers. New
York: Holt, Rinehart and Winston.
Harris, Ben M.. 1975. Supervisory
Behaviour in Education. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Himpunan Sarjana Administrasi Pendidikan Indonesia (HISAPIN). 1992.
“Hasil Sarasehan Nasional di Lembaga, tanggal 22 s.d 25 November 1992”.
Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar