ads

Senin, 11 Juni 2012

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN ”TEORI BELAJAR KONSTRUTIVISTIK”

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
TEORI BELAJAR KONSTRUTIVISTIK

Oleh Kelompok VI
Nama anggota:
1.      KARIN SELMA AL KAUSAR
2.     I WAYAN JULIANTARA
3.     JULLY ADITYA PUTRA
4.     MRS X
5.     MRS X
6.     MRS X                                


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM



KATA  PENGANTAR

          Puji syukur penulis panjatkan kehadapan TUHAN YANG MAHA ESA karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “TEORI KONSTRUKTIVISTIK  ini tepat pada waktunya. 
            Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak mendapat bantuan serta bimbingan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. 
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi menyempurnakan makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua. 





Mataram, 4 April 2012



Penulis














DAFTAR ISI

Kata pengantar………………………………….………….................................               i
Daftar isi…………………………………….…….………...................................               ii

Bab I Pendahuluan
1.1 Latar belakang …………………………………………....................................             1
1.2 Rumusan masalah………………………………………....................................             1
1.3 Tujuan penulisan ………………………………………………….....................             2
1.4 Manfaat penulisan...............................................................................................              2

Bab II Pembahasan
2.1  Konstruksi Pengetahuan………………………………………….....................             3
2.2  Teori belajar Konstruktivistik...............……………………………………….              4
2.3  Konstruktivistik menurut Jean Piaget …………………………………….......              5
2.4 Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik..................................................  
2.5 Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivistik……………               7
2.6 Keunggulan penggunaan konstruktivistik dalam pembelajaran………………..              9
2.7 Perbandingan Pembelajaran Tradisional dan Pembelajaran Konstruktivistik…               10

Bab III Penutup
3.1 Simpulan………………………………………………..,..................................              8         
3.2 Saran……………………………………………...............................................              8
Daftar Pustaka







BAB I
PENDAHULUAN


1.1  LATAR BELAKANG

Teori belajar konsttruktivisme mulai berkembang pada abad  19. Teori tersebut merupakan sebuah teori yang lebih mementingkan proses daripada hasil. Proses pembelajaran tidak hanya melibatkan stimulus dan respon, tetapi banyak melibatkan proses berfikir. Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dalam diri seseorang diperoleh melalui proses interaksi secara berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang berkesinambungan dan menyeluruh.
Melalui proses yang bermakna maka seorang anak akan tumbuh menjadi seorang individu yang lebih sempurna. Begitu pula dalam hal belajar, pemahaman proses lebih penting dibandingkan dengan penekanan hasil. Dengan proses yang bermakna, maka akan menghasilkan keluaran yang baik. Seperti yang kita lihat di masyarakat, dan juga merupakan dilemma bagi pendidikan di Indonesia ini yakni Masih  mengutamakan hasil daripada pemahaman dari proses belajar. Sebagai contoh, nilai ujian nasional merupakan tolak ukur kelulusan siswa, tanpa memperhatikan bagaimana kualitas dari proses pembelajaran tersebut. Oleh karena itu perlu sebuah cara untuk mengubah dan memperbaiki pola pendidikan yang terlanjur salah ini.
  Untuk memperbaiki pendidikan terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara mengajarnya. Ke dua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang ditemui selama kehidupannya. Manusia akan mencari hal-hal atau peralatan yang akan membantu memahami pengalamannya. Demikian juga manusia, akan mengkonstuksi dan bembentuk pengetahuan mereka sendiri.
Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian ini akan membahas teori belajar konstruktivistik dan kaitannya dengan pemahaman tentang apa pengetahuan itu, proses mengkonstruksi pengetahuan, serta hubungan antara pengetahuan, realitas dan kebenaran.

1.2 RUMUSAN MASALAH
            Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan rumusan permasalahan sebagai berikut:
a.       Apa pengertian dari teori konstruktivistik?
b.      Bagaimana proses pembelajaran konstruktivistik?
c.       Bagaimana konstruktivistik menurut jean piaget?
d.      Bagaimana perbandingan pembelajaran konstruktivistik dengan pembelajaran tradisional?
e.       Apa keunggulan penggunaan konstruktivistik dalam pembelajaran?
f.       Apa saja Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivistik?


1.3  TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah:
a.       Untuk mengetahui dan memahami proses belajar menurut teori konstruktivistik.
b.      Untuk memahami perbedaan pembelajaran tradisional dengan pembelajaran konstuktivistik.
c.       Memahami teori konstruktivistik dari pendapat para ahli.
d.      Memahami Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik.

1.4  MANFAAT  PENULISAN
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Dapat memberikan  informasi-informasi penting yang tentunya bermanfaat bagi para calon pengajar sehingga tahu lebih detail mengenai teori konstruktivistik.
b.      Menambah wawasan atau pengetahuan kita tentang Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik sehingga berguna dan untuk bekal kita sebagai calon pendidik.




BAB II
PEMBAHASAN



2.1 Konstruksi Pengetahuan

Menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah adadan tersedia dan orang lain tingal menerimannya.
Pengertahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pengalaman-pengalaman baru.

Pengetahuan bukanlah sustu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pemikiran orang lain yang belum memikikipengetahuan tersebut. Bila guru bermagsud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya terhadap sesuatu kepada siswa, pentransferan itu akan diinterprestasikan dan dikonstruksukan oleh siswa sendiri melalui  pengalaman dan pengatahuan mereka sendiri.  

Proses mengkonstuksi pengetahuan. Manusia dapat mengetahui dengan menggunakan indranya. Melalui interaksinyamenggunakan objek dan lingkungan, misalnya, melihat, mendengar, menjamah, membau atau merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukankah sesuatu yang sudah ditentukan , melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakin banyak orang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya, pengetahuan dan pemahamannya tentang objek dan lingkungan tersebut akan meningkat lebih rinci.

Von Galserveld (dalam Paul,S.,1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstuksi pengetahuan, yaitu:
·         Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman,
·         Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan,
·         Kemampuan untuk menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lainnya.

Faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstuksi pengetahuan yang telah ada, dimana pengalaman dan jaringan unsur kognitif yangdimilikinya. Proses dan hasil konstruksi  pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan dating. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsure penting dalam membentuk dan menembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang dimiliki oleh orang tersebut akan membentuk jaringan struktur kognitif dalam dirinya.

2.2 TEORI BELAJAR KONSTRUTIVISTIK
Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang menmiliki kepekaan mandiri, bertanggungjawb, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat serta mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang dapat melihat cirri – cirri manusia tersebut, dengan praktek – praktek pendidikan dan pembelajaran. Pandangan kontruvistik yang mengemukakan belajar adalah upaya pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilsi dan akomodasi yang menuju pada pembetukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah pada tujuan tersebut. Oleh karma itu, pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembetukan tersebut secara optimal dalam diri siswa. Proses belajar sebagi suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proses akomodasi dan asimilasi, akan membetuk suatu kontruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru – guru kontrotifistik yang menghargai dorongan diri manusia atau siswa untuk mengontruksikan pengetahuannya sendiri, kegiatan pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar tejadi aktivistas kotruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.
Karakteristik  pembelajaran yang dilakukannya adalah :
Ø  Membenaskan siswa dari belenggu kurikulum yng berisi fakta – fakta lepas yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide –idenya secara lebih luas.
Ø  Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya inters untuk membuat hubungan diantara ide – ide atau gagasanyakemudian mengformulasikan kembali ide – ide tersebut serta membuat kesimpulan – kesimpulan.
Ø  Guru bersama siswa mengkaji pesan – pesan penting bahwa dunia adalah komplek dimana terdapat bermacam – macam pandangan kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.
Ø  Guru mengakui bahwa dalam proses belajar dan peniliannya merupakan suatu usaha yang komplek, sukar dipahami, tidak teratur dan tidak mudah dikelola.

2.3 KONSTRUTIVISTIK MENURUT  JEAN PIAGET

Jean Piaget adalah salah satu dari penemu belajar konstruktivisme, beliau adalah seorang psikolog developmental karena penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan serta perubahan umum yang mempengaruhi perubahan individu.  Menurut Piaget, ada dua prinsip utama tentang bagaimana pengetahuan dibangun pada diri manusia, yaitu adaptasi dan organisasi:
  • Adaptasi: Individu beradaptasi terhadap rangsangan fisik dan mental dari lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
  • Organisasi: Pikiran diorganisasikan dalam cara yang kompleks dan terpadu. Organisasi pikiran yg paling sederhana adalah “schema” yg merupakan representasi tindakan fisik maupun mental yang dapat dilakukan terhadap obyek, peristiwa, atau fenomena.
Setelah melihat ilustrasi di atas, sekarang kita bahas apa itu skemata, asimilasi, akomodasi dan disequilibration.
  • Skemata adalah representasi mental terhadap serangkaian persepsi, ide, obyek dan atau tindakan. Dapat bersifat spesifik (seperti mengenali konsep anjing) maupun elaboratif (seperti mengenali perbedaan binatang serupa antara Anjing dan Kucing, atau klasifikasi aneka ragam jenis Anjing).
  • Asimilasi terjadi ketika anak mempersepsikan obyek atau peristiwa dengan skema yang telah ada dalam dirinya. (lihat ilustrasi ketika si Jaka ditunjukkan gambar anjing dan diceritakan ciri Anjing oleh Ibunya sampai dia memahami lebih jauh konsep Anjing setelah melihat Anjing sebenarnya.)
  • Akomodasi adalah proses merubah struktur mental internal terhadap realitas eksternal.Terjadi ketika skemata yang telah ada dimodifikasi atau skemata baru dibuat sebagai hasil dari pengalaman baru. Akomodasi terjadi seiring dengan adanya asimilasi, begitu pula sebaliknya ketika realita diasimilasi, maka struktur diakomodasi. (coba perhatikaan kembali ilustrasi di atas).
  • Equilibration adalah usaha untuk menyeimbangkan antara skemata yang telah ada dengan realitas lingkungan eksternal. Perhatikan ketika si Jaka ditunjukkan gambar dan diceritakan tentang anjing oleh ibunya, maka ia membentuk skemata awal tentang anjing, tapi ketika melihat anjing sebenarnya maka terjadi proses equilibration, yang diawali dengan keadaan disequilibrium dalam diri si Jaka dan menjadi equilibrium setelah menerima penguatan atau umpan balik dari ibunya, bahwa itulah Anjing seperti apa yang dilihat dan dialami si Jaka dalam konteks sebenarnya.




2.4 Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
Proses belajar konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…..constructing and restructuring of knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual consistency…..”. Pemberian makna terhadap obyek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya. dan sebagainya.
Peranan Siswa (Si-belajar). Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.

Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kamampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
            Peranan Guru. Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian belajar oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pedidikan adalah pengendalian yang meliputi;
1.      Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2.      Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3.      Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik (tradisional) yang obyektifis dan konstruktivistik. Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifis, sedangkan Piagetian dan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah tersetruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar merupakan asimilasi obyek-obyek nyata. Tujuan para perancang dan guru-guru tradisional adalah menginterpretasikan kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada para siswanya.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan terhadap dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasi-kan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual, bagaimana mengevaluasinya?
Evaluasi belajar pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar. Sedangkan pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa.
Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merrill, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.

 

2.5 Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis

Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:



1. Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.

2. Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.

3. Adanya lingkungan sosial yang kondusif,
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.

4. Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.

5. Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.
pembelajaran kontruktuvisme merupakan pembelajaran yang cukup baik dimana siswa dalam pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima pelajaran yang pasti seperti pembelajaran bihavioristik. Misalnya saja pada pelajaran pkn, tentang tolong menolong dan siswa di tugaskan untuk terjun langsung dan terlibat mengamati suatu lingkungan bagaimana sikap tolong menolong terbangun. Dan setelah itu guru memberi pengarahan yang lebih lanjut. Siswa lebih mamahami makna ketimbang konsep




2.6 Keunggulan penggunaan konstruktivistik dalam pembelajaran

Berikut ini diberikan 6 keunggulan penggunaan konstruktivistik dalam pembelajaran,yaitu:

·         Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya,serta mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
·         Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan siswa yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka dan memiliki kesempatan untuk merangkai pengetahuannya
·         Memberi kesempatan siswa untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa-siswa berpikir kreatif dan imajinatif
·         Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar
·         Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka
·         Memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan dan saling menyimak


2.7 Perbandingan Pembelajaran Tradisional (Behavioristik) dan Pembelajaran Konstruktivistik
Proses pembelajaran akan efektif jika diketahui inti kegiatan belajar yang sesungguhnya. Pada bagian ini akan dibahas ciri-ciri pembelajaran tradisional atau behavioristik dan ciri-ciri pembelajaran konstruktivistik.
Kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi pelajaran melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan materi yang diceramahkan. Dalam pembelajaran, guru banyak menggantungkan pada buku teks. Materi yang disampaikan sesuai dengan urutan isi buku teks. Diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan guru, atau sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan interpretasi di antara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan. Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan tingkat rendah dengan cara melengkapi buku tugasnya setiap hari.
Ketika menjawab pertanyaan siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara pandang siswa dalam menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu yang dianggap benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau konsep-konsep yang sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.
Berbeda dengan bentuk pembelajaran di atas, pembelajaran konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru. Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau apa yang dapat diulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan dengan cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat dihasilkan siswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional atau behavioristik  dan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut.

Pembelajaran tradisional
Pembelajaran konstruktivistik
1. Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju ke seluruhan dengan menekankan pada ketrampilan-ke-trampilan dasar.
1. Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
2. Pembelajaran sangat taat pada kuri-kulum yang telah ditetapkan.
2. Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa.
3. Kegiatan kurikuler lebih banyak me-ngandalkan pada buku teks dan buku kerja.
3. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
4. Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi infor-masi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didak-tik dalam menyampaikan informasi kepada siswa.
4. Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
5. Penilaian hasil belajar atau pengeta-huan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran, dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing.
5. Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
6. Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group process dalam belajar.
6. Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group process.























BAB III
PENUTUP


3.1 KESIMPULAN

            Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan, mandiri, bertanggungjawab, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang mampu melihat kaitan antara ciri-ciri manusia tersebut, dengan praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran untuk mewujudkannya. Pandangan kognitif-konstruktivistik yang mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah kepada tujuan tersebut. Oleh karena itu pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal pada diri siswa.
Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru konstruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri manusia/siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, kegiatan pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktivitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.
3.2 SARAN DAN KRITIK

Dalam menyusun makalah ini tentunya jauh dari sempurna. Maka penyusun dengan lapang dada menrima sran dan kritik dari semua pihak untuk kesempurnaanya.


DAFTAR PUSTAKA


Soemanto, Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan Landasan  Kerja Peminpin Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta

Wahab, Rohmad. 1999. Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. DEPDIKNAS

Dalyono. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta

Uno, Hamzah. 2010. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara

Degeng, N.S. 1997. Pandangan Behavioristik VS Konstruktivistik: Pemecahan Masalah Belajar Abad XXI. Malang: Makalah Seminar TEP






































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sponsor