BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
”TEORI BELAJAR KONSTRUTIVISTIK”
Oleh Kelompok VI
Nama anggota:
1.
KARIN SELMA AL KAUSAR
2.
I WAYAN JULIANTARA
3.
JULLY ADITYA PUTRA
4.
MRS X
5.
MRS X
6.
MRS X
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan TUHAN YANG MAHA
ESA karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “TEORI KONSTRUKTIVISTIK” ini tepat pada
waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak mendapat
bantuan serta bimbingan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada rekan-rekan yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
menyempurnakan makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Mataram, 4 April
2012
Penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantar………………………………….………….................................
i
Daftar isi…………………………………….…….………................................... ii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar belakang ………………………………………….................................... 1
1.2 Rumusan masalah……………………………………….................................... 1
1.3 Tujuan penulisan …………………………………………………..................... 2
1.4 Manfaat
penulisan............................................................................................... 2
Bab II Pembahasan
2.1
Konstruksi Pengetahuan…………………………………………..................... 3
2.2 Teori belajar Konstruktivistik...............………………………………………. 4
2.3 Konstruktivistik menurut Jean Piaget ……………………………………....... 5
2.4 Proses Belajar Menurut Teori
Konstruktivistik..................................................
2.5 Unsur Penting
dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivistik…………… 7
2.6
Keunggulan penggunaan konstruktivistik dalam pembelajaran……………….. 9
2.7
Perbandingan Pembelajaran Tradisional dan Pembelajaran Konstruktivistik… 10
Bab III Penutup
3.1
Simpulan………………………………………………..,.................................. 8
3.2 Saran……………………………………………............................................... 8
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Teori belajar konsttruktivisme mulai berkembang pada abad 19. Teori tersebut merupakan sebuah teori
yang lebih mementingkan proses daripada hasil. Proses pembelajaran tidak hanya
melibatkan stimulus dan respon, tetapi banyak melibatkan proses berfikir.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dalam diri seseorang diperoleh melalui
proses interaksi secara berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak
berjalan terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang berkesinambungan dan
menyeluruh.
Melalui proses yang bermakna maka seorang anak akan tumbuh menjadi
seorang individu yang lebih sempurna. Begitu pula dalam hal belajar, pemahaman
proses lebih penting dibandingkan dengan penekanan hasil. Dengan proses yang
bermakna, maka akan menghasilkan keluaran yang baik. Seperti yang kita lihat di
masyarakat, dan juga merupakan dilemma bagi pendidikan di Indonesia ini yakni
Masih mengutamakan hasil daripada
pemahaman dari proses belajar. Sebagai contoh, nilai ujian nasional merupakan
tolak ukur kelulusan siswa, tanpa memperhatikan bagaimana kualitas dari proses
pembelajaran tersebut. Oleh karena itu perlu sebuah cara untuk mengubah dan
memperbaiki pola pendidikan yang terlanjur salah ini.
Untuk memperbaiki pendidikan
terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara
mengajarnya. Ke dua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia
mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang
ditemui selama kehidupannya. Manusia akan mencari hal-hal atau peralatan yang
akan membantu memahami pengalamannya. Demikian juga manusia, akan mengkonstuksi
dan bembentuk pengetahuan mereka sendiri.
Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian ini
akan membahas teori belajar konstruktivistik dan kaitannya dengan pemahaman
tentang apa pengetahuan itu, proses mengkonstruksi pengetahuan, serta hubungan
antara pengetahuan, realitas dan kebenaran.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas, dapat dirumuskan rumusan permasalahan sebagai berikut:
a.
Apa pengertian dari teori konstruktivistik?
b.
Bagaimana proses pembelajaran konstruktivistik?
c.
Bagaimana konstruktivistik menurut jean piaget?
d.
Bagaimana perbandingan pembelajaran konstruktivistik
dengan pembelajaran tradisional?
e.
Apa keunggulan penggunaan konstruktivistik dalam
pembelajaran?
f.
Apa saja Unsur Penting
dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivistik?
1.3 TUJUAN
PENULISAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah:
a. Untuk
mengetahui dan memahami proses belajar menurut teori konstruktivistik.
b. Untuk
memahami perbedaan pembelajaran tradisional dengan pembelajaran
konstuktivistik.
c. Memahami
teori konstruktivistik dari pendapat para ahli.
d. Memahami
Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik.
1.4 MANFAAT PENULISAN
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
a.
Dapat memberikan
informasi-informasi penting yang tentunya bermanfaat bagi para calon
pengajar sehingga tahu lebih detail mengenai teori konstruktivistik.
b.
Menambah wawasan atau pengetahuan kita tentang Proses Belajar Menurut Teori
Konstruktivistik sehingga berguna dan untuk bekal kita sebagai calon pendidik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konstruksi Pengetahuan
Menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta
dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi
kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya.
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah adadan tersedia dan orang lain tingal
menerimannya.
Pengertahuan
adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap
saat mengalami reorganisasi karena adanya pengalaman-pengalaman baru.
Pengetahuan
bukanlah sustu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah
mempunyai pengetahuan kepada pemikiran orang lain yang belum
memikikipengetahuan tersebut. Bila guru bermagsud untuk mentransfer konsep,
ide, dan pengetahuannya terhadap sesuatu kepada siswa, pentransferan itu akan
diinterprestasikan dan dikonstruksukan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengatahuan mereka sendiri.
Proses
mengkonstuksi pengetahuan. Manusia dapat mengetahui dengan menggunakan
indranya. Melalui interaksinyamenggunakan objek dan lingkungan, misalnya,
melihat, mendengar, menjamah, membau atau merasakan, seseorang dapat mengetahui
sesuatu. Pengetahuan bukankah sesuatu yang sudah ditentukan , melainkan sesuatu
proses pembentukan. Semakin banyak orang berinteraksi dengan objek dan
lingkungannya, pengetahuan dan pemahamannya tentang objek dan lingkungan
tersebut akan meningkat lebih rinci.
Von
Galserveld (dalam Paul,S.,1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang
diperlukan dalam proses mengkonstuksi pengetahuan, yaitu:
·
Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali
pengalaman,
·
Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan
akan kesamaan dan perbedaan,
·
Kemampuan untuk menyukai suatu pengalaman yang
satu daripada yang lainnya.
Faktor
yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstuksi
pengetahuan yang telah ada, dimana pengalaman dan jaringan unsur kognitif
yangdimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan
menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan dating. Pengalaman akan
fenomena yang baru menjadi unsure penting dalam membentuk dan menembangkan
pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal akan membatasi
pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang dimiliki oleh orang tersebut
akan membentuk jaringan struktur kognitif dalam dirinya.
2.2 TEORI BELAJAR KONSTRUTIVISTIK
Usaha
mengembangkan manusia dan masyarakat yang menmiliki kepekaan mandiri,
bertanggungjawb, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat serta mampu
berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang
dapat melihat cirri – cirri manusia tersebut, dengan praktek – praktek
pendidikan dan pembelajaran. Pandangan kontruvistik yang mengemukakan belajar
adalah upaya pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilsi
dan akomodasi yang menuju pada pembetukan struktur kognitifnya, memungkinkan
mengarah pada tujuan tersebut. Oleh karma itu, pembelajaran diusahakan agar
dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembetukan tersebut secara optimal
dalam diri siswa. Proses belajar sebagi suatu usaha pemberian makna oleh siswa
kepada pengalamnnya melalui proses akomodasi dan asimilasi, akan membetuk suatu
kontruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru
– guru kontrotifistik yang menghargai dorongan diri manusia atau siswa untuk
mengontruksikan pengetahuannya sendiri, kegiatan pembelajaran yang dilakukannya
akan diarahkan agar tejadi aktivistas kotruksi pengetahuan oleh siswa secara
optimal.
Karakteristik pembelajaran yang dilakukannya adalah :
Ø Membenaskan
siswa dari belenggu kurikulum yng berisi fakta – fakta lepas yang sudah ditetapkan,
dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide –idenya secara
lebih luas.
Ø Menempatkan
siswa sebagai kekuatan timbulnya inters untuk membuat hubungan diantara ide –
ide atau gagasanyakemudian mengformulasikan kembali ide – ide tersebut serta
membuat kesimpulan – kesimpulan.
Ø Guru
bersama siswa mengkaji pesan – pesan penting bahwa dunia adalah komplek dimana
terdapat bermacam – macam pandangan kebenaran yang datangnya dari berbagai
interpretasi.
Ø Guru
mengakui bahwa dalam proses belajar dan peniliannya merupakan suatu usaha yang
komplek, sukar dipahami, tidak teratur dan tidak mudah dikelola.
2.3 KONSTRUTIVISTIK
MENURUT JEAN PIAGET
Jean Piaget adalah salah satu dari penemu belajar konstruktivisme, beliau
adalah seorang psikolog developmental karena penelitiannya mengenai tahap-tahap
perkembangan serta perubahan umum yang mempengaruhi perubahan individu. Menurut Piaget, ada dua prinsip utama tentang
bagaimana pengetahuan dibangun pada diri manusia, yaitu adaptasi dan
organisasi:
- Adaptasi: Individu beradaptasi terhadap rangsangan fisik dan mental dari lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
- Organisasi: Pikiran diorganisasikan dalam cara yang kompleks dan terpadu. Organisasi pikiran yg paling sederhana adalah “schema” yg merupakan representasi tindakan fisik maupun mental yang dapat dilakukan terhadap obyek, peristiwa, atau fenomena.
Setelah melihat
ilustrasi di atas, sekarang kita bahas apa itu skemata, asimilasi, akomodasi
dan disequilibration.
- Skemata adalah representasi mental terhadap serangkaian persepsi, ide, obyek dan atau tindakan. Dapat bersifat spesifik (seperti mengenali konsep anjing) maupun elaboratif (seperti mengenali perbedaan binatang serupa antara Anjing dan Kucing, atau klasifikasi aneka ragam jenis Anjing).
- Asimilasi terjadi ketika anak mempersepsikan obyek atau peristiwa dengan skema yang telah ada dalam dirinya. (lihat ilustrasi ketika si Jaka ditunjukkan gambar anjing dan diceritakan ciri Anjing oleh Ibunya sampai dia memahami lebih jauh konsep Anjing setelah melihat Anjing sebenarnya.)
- Akomodasi adalah proses merubah struktur mental internal terhadap realitas eksternal.Terjadi ketika skemata yang telah ada dimodifikasi atau skemata baru dibuat sebagai hasil dari pengalaman baru. Akomodasi terjadi seiring dengan adanya asimilasi, begitu pula sebaliknya ketika realita diasimilasi, maka struktur diakomodasi. (coba perhatikaan kembali ilustrasi di atas).
- Equilibration adalah usaha untuk menyeimbangkan antara skemata yang telah ada dengan realitas lingkungan eksternal. Perhatikan ketika si Jaka ditunjukkan gambar dan diceritakan tentang anjing oleh ibunya, maka ia membentuk skemata awal tentang anjing, tapi ketika melihat anjing sebenarnya maka terjadi proses equilibration, yang diawali dengan keadaan disequilibrium dalam diri si Jaka dan menjadi equilibrium setelah menerima penguatan atau umpan balik dari ibunya, bahwa itulah Anjing seperti apa yang dilihat dan dialami si Jaka dalam konteks sebenarnya.
2.4 Proses Belajar Menurut Teori
Konstruktivistik
Pada bagian
ini akan dibahas proses belajar dari pandangan konstruktivistik, dan dari
aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
Proses belajar
konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari
pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu
arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh
siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara
pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari
segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang
terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…..constructing and restructuring
of knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex network
of increasing conceptual consistency…..”. Pemberian makna terhadap obyek
dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri
oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang
terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu
pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam
memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan
belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan
dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya. dan
sebagainya.
Peranan Siswa
(Si-belajar). Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu
proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si
belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan
memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan
harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal
bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya
gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat
dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma
konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan
awal sebelum mempelajari sesuatu. Kamampuan awal tersebut akan menjadi dasar
dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan
awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru,
sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
Peranan Guru. Dalam belajar konstruktivistik guru atau
pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian belajar oleh siswa
berjalan lancar. Guru tidak menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya,
melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut
untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru
tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan
sesuai dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam
interaksi pedidikan adalah pengendalian yang meliputi;
1. Menumbuhkan
kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan
bertindak.
2. Menumbuhkan
kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan
dan ketrampilan siswa.
3. Menyediakan
sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang
optimal untuk berlatih.
Sarana
belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam
kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan
fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi
kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang
dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk
berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis,
kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.
Evaluasi
belajar. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar
sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap
realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang
didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha
mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar
antara pandangan behavioristik (tradisional) yang obyektifis dan
konstruktivistik. Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu
pada obyektifis, sedangkan Piagetian dan tugas-tugas belajar discovery
lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas
pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah tersetruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk
menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat
dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh
proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar
merupakan asimilasi obyek-obyek nyata. Tujuan para perancang dan guru-guru
tradisional adalah menginterpretasikan kejadian-kejadian nyata yang akan
diberikan kepada para siswanya.
Pandangan
konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang.
Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya.
Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang
mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan
yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwa-peristiwa.
Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting
dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan terhadap dunia nyata,
di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara
individual.
Teori belajar
konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasi-kan informasi
ke dalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri,
pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa
mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal. Jika
hasil belajar dikonstruksi secara individual, bagaimana mengevaluasinya?
Evaluasi
belajar pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan
belajar. Sedangkan pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free
evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada
tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi
informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum
proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah.
Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran.
Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas
belajar siswa.
Pembelajaran
dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe
obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil
belajar konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free.
Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik,
memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk
evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik,
mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi
seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merrill, atau “strategi kognitif”
dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman
siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai
perspektif.
2.5 Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis
Berdasarkan
hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah
ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam lingkungan
pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:
1.
Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan
pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan.
Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan
pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus
memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk
mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
2.
Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
Segala
kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa
sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan
belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan
melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk
mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari
kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.
3. Adanya
lingkungan sosial yang kondusif,
Siswa
diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa
maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja
dalam berbagai konteks sosial.
4.
Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa
didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena
itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur
kegiatan belajarnya.
5.
Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
Sains
bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses
dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan
memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.
pembelajaran
kontruktuvisme merupakan pembelajaran yang cukup baik dimana siswa dalam
pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima pelajaran yang pasti seperti
pembelajaran bihavioristik. Misalnya saja pada pelajaran pkn, tentang tolong
menolong dan siswa di tugaskan untuk terjun langsung dan terlibat mengamati
suatu lingkungan bagaimana sikap tolong menolong terbangun. Dan setelah itu
guru memberi pengarahan yang lebih lanjut. Siswa lebih mamahami makna ketimbang
konsep
2.6 Keunggulan penggunaan
konstruktivistik dalam pembelajaran
Berikut ini diberikan 6 keunggulan
penggunaan konstruktivistik dalam pembelajaran,yaitu:
·
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan
dengan temannya,serta mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
·
Memberi pengalaman yang berhubungan dengan
gagasan siswa yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan
dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka dan memiliki
kesempatan untuk merangkai pengetahuannya
·
Memberi kesempatan siswa untuk berpikir tentang
pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa-siswa berpikir kreatif dan imajinatif
·
Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba
gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dan
akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar
·
Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan
gagasan mereka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa
untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka
·
Memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang
mendukung siswa mengungkapkan gagasan dan saling menyimak
2.7 Perbandingan Pembelajaran
Tradisional (Behavioristik) dan Pembelajaran Konstruktivistik
Proses
pembelajaran akan efektif jika diketahui inti kegiatan belajar yang
sesungguhnya. Pada bagian ini akan dibahas ciri-ciri pembelajaran tradisional
atau behavioristik dan ciri-ciri pembelajaran konstruktivistik.
Kegiatan
pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori
behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi pelajaran
melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan respon
sesuai dengan materi yang diceramahkan. Dalam pembelajaran, guru banyak
menggantungkan pada buku teks. Materi yang disampaikan sesuai dengan urutan isi
buku teks. Diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan guru, atau sama
dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan interpretasi di
antara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan.
Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan tingkat rendah dengan
cara melengkapi buku tugasnya setiap hari.
Ketika menjawab pertanyaan
siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara pandang siswa dalam menghadapi
masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu yang dianggap
benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau konsep-konsep yang
sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya. Pengkonstruksian
pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan
pengetahuan.
Berbeda dengan
bentuk pembelajaran di atas, pembelajaran konstruktivistik membantu siswa
menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi
dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur
kognitif baru. Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk dipahami.
Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau apa
yang dapat diulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan dengan cara
menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang
dapat dihasilkan siswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Secara rinci perbedaan
karakteristik antara pembelajaran tradisional atau behavioristik dan
pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut.
Pembelajaran
tradisional
|
Pembelajaran
konstruktivistik
|
1. Kurikulum
disajikan dari bagian-bagian menuju ke seluruhan dengan menekankan pada
ketrampilan-ke-trampilan dasar.
|
1. Kurikulum
disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih
mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
|
2.
Pembelajaran sangat taat pada kuri-kulum yang telah ditetapkan.
|
2.
Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa.
|
3. Kegiatan
kurikuler lebih banyak me-ngandalkan pada buku teks dan buku kerja.
|
3. Kegiatan
kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan
manipulasi bahan.
|
4. Siswa-siswa
dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi infor-masi oleh guru,
dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didak-tik dalam menyampaikan
informasi kepada siswa.
|
4. Siswa
dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang
dirinya.
|
5. Penilaian
hasil belajar atau pengeta-huan siswa dipandang sebagai bagian dari
pembelajaran, dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara
testing.
|
5. Pengukuran
proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan
pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa,
serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
|
6. Siswa-siswa
biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group process dalam
belajar.
|
6. Siswa-siswa
banyak belajar dan bekerja di dalam group process.
|
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Usaha
mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan, mandiri,
bertanggungjawab, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta mampu
berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang
mampu melihat kaitan antara ciri-ciri manusia tersebut, dengan praktek-praktek
pendidikan dan pembelajaran untuk mewujudkannya. Pandangan
kognitif-konstruktivistik yang mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha
pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi
yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah kepada
tujuan tersebut. Oleh karena itu pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan
kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal pada diri siswa.
Proses belajar sebagai suatu
usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi
dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada
kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru konstruktivistik yang mengakui dan
menghargai dorongan diri manusia/siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuannya
sendiri, kegiatan pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terjadi
aktivitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.
3.2
SARAN DAN KRITIK
Dalam menyusun makalah ini tentunya jauh dari sempurna. Maka
penyusun dengan lapang dada menrima sran dan kritik dari semua pihak untuk
kesempurnaanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Soemanto, Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Peminpin Pendidikan. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Wahab, Rohmad. 1999. Perkembangan dan Belajar Peserta Didik.
DEPDIKNAS
Dalyono. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Uno, Hamzah. 2010. Orientasi Baru Dalam Psikologi
Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara
Degeng, N.S. 1997. Pandangan Behavioristik VS
Konstruktivistik: Pemecahan Masalah
Belajar Abad XXI. Malang: Makalah Seminar TEP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar