ads

Kamis, 14 Juni 2012

Belajar Pembelajaran "Teori Belajar Sosial "



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb...
Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan semua nikmat serta karunia-Nya, sehingga kita masih bisa merasakan nikmat-nikmat–Nya sampai saat sekarang ini,.
Yang kedua kalinya marilah kita bershalawat dan bersalam keharibaan junjungan Alam Baginda besar kita Rasulallah saw yang telah menyatukan ummat islam dari ujung masyrik sampai ujung magrhib serta merubah peradaban dunia dari Zaman kekafiran menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan juga sebagai salah seorang The Best Leader di Dunia sampai akhirat .yang sampai saat sekarang ini dan nanti menjadi panutan semua ummat manusia wabil khusus kita sebagai orang islam.
            Makalah ini kami susun untuk menunjang kegiatan perkuliahan dan menjadi bukti kesadaran kami sebagai seorang Mahasiswa untuk mengerjakan berbagai macam tugas yang telah ditanggungkan kepada kami. Dan kami juga berterima kasih kepada teman – teman kelompok yang telah membantu kami dalam kelancaran pembuatan makalah ini.
            Akhirnya, kami berharap Makalah ini dapat menjadi salah satu sarana belajar bagi semua Mahasiswa dan dapat berguna bagi kita semua. Namun makalah ini sangatlah jauh dari kata kesempurnaan oleh karena itu kami mengharapkan kritikan dan kontribusi teman-teman sekalian guna kemajuan kita bersama.
Sekian
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb                                                           
Mataram, 20 Maret 2012


BAB II
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang relatif tetap. Dalam
proses ini perubahan tidak terjadi sekaligus tetapi terjadi secara bertahap tergantung
pada faktor-faktor pendukung belajar yang mempengaruhi siswa. Faktor-faktor ini
umumnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor intern dan faktor ekstern.
Faktor intern berhubungan dengan segala sesuatu yang ada pada diri siswa yang
menunjang pembelajaran, seperti inteligensi, bakat, kemampuan motorik pancaindra,
dan skema berpikir. Faktor ekstern merupakan segala sesuatu yang berasal dari luar
diri siswa yang mengkondisikannya dalam pembelajaran, seperti pengalaman,
lingkungan sosial, metode belajar-mengajar, strategi belajar-mengajar, fasilitas
belajar dan dedikasi guru. Keberhasilannya mencapai suatu tahap hasil belajar
memungkinkannya untuk belajar lebih lancar dalam mencapai tahap selanjutnya.
Secara umum prestasi belajar siswa di Indonesia ditentukan oleh kemampuan
kognitifnya dalam memahami sebaran materi pelajaran yang telah ditentukan di
dalam kurikulum. Soemanto (1984:120-121) menyatakan bahwa tingkah laku
kognitif merupakan tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku
terjadi. Tingkah laku tergantung pada insight (pengamatan atau pemahaman) terhadap
hubungan yang ada dalam situasi. Dalam kognisi terjadi proses berpikir dan proses
mengamati yang menghasilkan, memperoleh, menyimpan, dan memproduksi
pengetahuan (Monks dan Knoers, 1998:216). Dengan demikian struktur kognitif
sebagai hasil belajar yang diperoleh siswa mempunyai bentuk yang beraneka ragam.
Praksis ini bisa kita lihat pada nilai rapor setiap akhir cawu atau NEM setiap akhir
tahun ajaran. Setiap siswa akan memiliki nilai yang bervariasi untuk setiap mata
pelajaran. Begitu juga kecenderungan peningkatan nilai siswa akan bervariasi pada
setiap cawu atau setiap akhir tahun pelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
Siapakah Albert Bandura??
Albert Bandura (lahir di Mundare, Kanada, 4 Desember 1925) adalah seorang psikolog. Ia menerima gelar sarjana muda di bidang psikologi dari University of British of Columbia pada tahun 1949. Kemudian, ia melanjutkan studinya ke Universitas Iowa dan meraih gelar Ph.D pada tahun 1952. Pada tahun 1953, ia mulai mengajar di Universitas Stanford. Hingga saat ini, ia masih mengajar di Unicersitas Stanford.
Bandura meneliti beberapa kasus, salah satunya ialah kenakalan remaja. Menurutnya, lingkungan memang membentuk perilaku dan perilaku membentuk lingkungan. Oleh Bandura, konsep ini disebut determinisme resiprokal yaitu proses yang mana dunia dan perilaku seseorang saling memengaruhi. Lanjutnya, ia melihat bahwa kepribadian merupakan hasil dari interaksi tiga hal yakni lingkungan, perilaku, dan proses psikologi seseorang. Proses psikologis ini berisi kemampuan untuk menyelaraskan berbagai citra (images) dalam pikiran dan bahasa.
Dalam teorinya, Bandura menekankan dua hal penting yang sangat mempengaruhi perilaku manusia yaitu pembelajaran observasional (modeling) yang lebih dikenal dengan teori pembelajaran sosial dan regulasi diri. Beberapa tahapan yang terjadi dalam proses modeling:
  1. Atensi (perhatian)
  2. Retensi (ingatan)
  3. Reproduksi
  4. Motivasi
Menurut Bandura, ada beberapa jenis motivasi yaitu:
Regulasi diri (kemampuan mengontrol perilaku sendiri) ialah salah satu dari sekian penggerak utama kepribadian manusia. Tiga tahap yang terjadi dalam proses regulasi diri yakni:[1]
  1. Pengamatan diri yakni melihat diri sendiri beserta perilakunya serta terus mengawasi
  2. Penilaian yakni membandingkan apa yang dilihat pada diri dan perilaku dengan standar ukuran tertentu
  3. Respon diri yakni proses memberi imbalan pada diri sendiri setelah berhasil melakukan penilaian sebagai respon terhadap diri sendiri
Bagi mereka yang memiliki konsep diri yang buruk, Bandura memberikan saran untuk memperbaikinya yakni:
  1. Pengamatan diri
  2. Memperhatikan standar ukuran
  3. Memperhatikan respon diri



Teori Belajar Sosial (Social Learning)Menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial disebut juga teori pembelajaran observasional, dikembangkan oleh Albert Bandura. Bandura bukanlah behavioris murni karena dia juga dipengaruhi oleh teori kognitivisme yang dikembangkan oleh Jean Piaget, oleh sebab itu alirannya disebut neobehaviorism atau behaviorisme baru. Berbeda dengan para behavioris lain, Bandura memandang bahwa prilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis terhadap stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat dari reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Dalam hal ini belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan contoh prilaku (modeling). Hati-hati dalam membedakan teori belajar menurut Bandura ini dengan teori psikologi perkembangan sosial (social devlopment) dari Erikson (seorang penganut aliran psikoanalisis Freud)yang berkembang sebelumnya.
Teori Bandura ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan prilaku sosial mana yang perlu filaksanakan. Menurut teori ini individu menguasai lebih banyak dari sekedar yang diperlihatkan oleh prilakunya. Bandura menyatakan: “Manusia adalah organisme yang mempunyai kemampuan berpikir, ia dapat mengarahkan diri, dapat menghayati keadaan orang lain, dapat menggunakan simbol-simbol dan dapat mengatur dirinya sendiri.” Ini merupakan pandangan baru dalam aliran behaviorisme yang semula sangat mekanistis dan hanya mengakui kekuatan lingkunagan (Sukmadinata, 2004:157).
Melalui pembelajaran observasional yang disebut modeling atau menirukan prilaku manusia model, Bandura mengembangkan teori pembelajaran sosial. Prilaku siswa pengamat dapat dipengaruhi oleh prilaku model dalam bentuk akibat-akibat positif (vicarious reinforcement, penguatan yang seolah-olah dialaminya sendiri) maupun dalam akibat-akibat negatif (vicarious punishment).
Proses modeling terjadi akibat dengan beberapa tahapan sebagai berikut.
1.      Atensi (perhatian), jika ingin mempelajari sesuatu harus memprlihatkannya dengan seksama, berkonsentrasi, jangan banyak hal yang mengganggu pikiran.
2.      Retensi (ingatan), kita harus mampu mempertahankan, mengingat apa yang telah diperhatikan dengan seksama tadi.
3.      Produksi, kita hanya perlu duduk berkhayal untuk menerjemahkan citraan atau diskripsi model kedalam prilaku aktual. Aspek paling penting disini adalah kemampuan kita berimprovisasi ketika kita membayangkan diri kita sebagai model.
4.      Motivasi, adanya dorongan atau alasan-alasan tertentu untuk berbuat meniru model. Ada tiga hal yang merupakan motivasi, yaitu: (i) dorongan masa lalu, (ii) dorongan yang dijanjikan (intensif) yang dapat kita bayangkan, dan (iii) dorongan-dorongan yang kentara (tangible), seperti melihat atau mengingat model-model yang patut ditiru.
Berikut ini merupakan sejumlah prinsip-prinsip panduan (guiding principles) yang melatarbelakangi pembelajaran observasional.
1.      Pengamat akan mencontoh prilaku model jika model itu memiliki karekteritik seperti talenta, kecerdasan, kekuatan, penampilan yang baik, atau popularitas, yang diinginkan atau menarik perhatian siswa pengamat.
2.      Pengamat akan beereaksi sesuai dengan cara model diperlakukan dan menirukan perilaku model.
3.      Ada perbedaan dari prilaku yang didapat pengamat dengan prilaku yang dilakukan pengamat. Melalui observasi, pengamat dapat menerima prilaku tanpa harus memperlakukannya.
4.      Atensi, dengan pengingatan berkaitan dengan penerimaan pembelajaran dari prilaku model, sedangkan produksi dan motivasi akan mengontrol kinerja.
5.      Perkembangan manusia merefleksikan interaksi kompleks antarpribadi, prilaku seseorang dan lingkungannya. Hubungan antar unsur-unsur ini disebut determinisme resiprokal, penentuan timbal balik (reciprocal determinism). Kecakapan kognitif seseorang karakteristik fisik, kepribadian, kepercayaan, dan sikap berpengaruh terhadap prilaku dan lingkungannya.
Pembelajaran observasional dapat berdampak pada pembelajaran dalam hal berikut.
·         Kurikulum- Para siswa harus diberi kesempatan untuk mengamati prilaku model yang memandu kearah penguatan positif.
·         Pengajaran- Pengajar harus menggalakkan pembelajaran kolaboratif, karena umumnya pembelajaran terjadi di dalam konteks sosial dan lingkungan.
·         Penilaian- Perilaku belajar seringkali tidak dapat dilaksanakan kecuali tersedia lingkungan yang benar-benar cocok untuk itu. Pendidik harus menyediakan intensif dan lingkungan yang mendukung agar prilaku positif berlangsung. Jika tidak, maka hasil penilaian tidak akurat.



"Belajar akan sangat melelahkan, belum lagi berbahaya, jika orang harus mengandalkan hanya pada efek dari tindakan mereka sendiri untuk memberitahu mereka apa yang harus dilakukan Untungnya,. Perilaku kebanyakan manusia adalah belajar observasional melalui pemodelan: dari mengamati orang lain satu bentuk ide tentang bagaimana perilaku baru dilakukan, dan pada kesempatan kemudian informasi ini kode berfungsi sebagai panduan untuk bertindak. "
-Albert Bandura, Teori Belajar Sosial, 1977

Teori pembelajaran sosial yang diusulkan oleh Albert Bandura telah menjadi mungkin teori yang paling berpengaruh pembelajaran dan pengembangan. Sementara banyak berakar pada konsep-konsep dasar teori belajar tradisional, Bandura percaya bahwa penguatan langsung tidak bisa account untuk semua jenis pembelajaran.

Teorinya menambahkan elemen sosial, dengan alasan bahwa orang dapat mempelajari informasi baru dan perilaku dengan melihat orang lain. Dikenal sebagai belajar observasional (atau model), jenis pembelajaran ini dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai perilaku.
Konsep Dasar Belajar Sosial

1. Orang-orang dapat belajar melalui observasi.

Belajar observasional

Dalam terkenal "Bobo boneka" studi, Bandura menunjukkan bahwa anak-anak belajar dan meniru perilaku yang mereka telah diamati pada orang lain. Anak-anak dalam studi Bandura's diamati dewasa melakukan tindakan kekerasan terhadap boneka Bobo. Ketika anak-anak itu kemudian diizinkan untuk bermain di sebuah kamar dengan boneka Bobo, mereka mulai meniru tindakan agresif mereka sebelumnya diamati.

Bandura mengidentifikasi tiga model dasar pembelajaran observasional:

   1. Model hidup, yang melibatkan seorang individu sebenarnya mendemonstrasikan atau bertindak keluar perilaku.
   2. Model pembelajaran verbal, yang melibatkan deskripsi dan penjelasan tentang perilaku.
   3. Model simbolik, yang melibatkan karakter nyata atau fiksi menampilkan perilaku dalam buku-buku, film, program televisi, atau media online.

2. Mental negara penting untuk belajar.

Intrinsik Tulangan

Bandura mencatat bahwa eksternal, penguatan lingkungan bukan satu-satunya faktor untuk mempengaruhi belajar dan perilaku. Dia menggambarkan penguatan intrinsik sebagai bentuk penghargaan internal, seperti kebanggaan, kepuasan dan rasa keberhasilan. Penekanan terhadap pikiran internal dan kognisi membantu menghubungkan teori belajar teori perkembangan kognitif. Meskipun banyak buku teks tempat teori pembelajaran sosial dengan teori-teori perilaku, Bandura sendiri menggambarkan pendekatan sebagai 'teori kognitif sosial. "

3. Belajar tidak selalu menyebabkan perubahan tingkah laku.

Sementara behavioris percaya bahwa belajar menyebabkan perubahan permanen dalam perilaku, pembelajaran observasional menunjukkan bahwa orang dapat mempelajari informasi baru tanpa menunjukkan perilaku baru.
Proses Pemodelan

Tidak semua perilaku yang diamati secara efektif dipelajari. Faktor-faktor yang melibatkan model dan pelajar dapat memainkan peran dalam apakah pembelajaran sosial adalah sukses. persyaratan tertentu dan langkah-langkah juga harus diikuti. Langkah-langkah berikut terlibat dalam proses pembelajaran observasional dan pemodelan:

    * Perhatian:
      Dalam rangka untuk belajar, Anda perlu memperhatikan. Apa pun yang detracts perhatian Anda akan memiliki efek negatif terhadap belajar. Jika model yang menarik atau ada aspek novel dengan situasi, Anda lebih mungkin untuk mempersembahkan perhatian penuh untuk belajar.

    * Penyimpanan:
      Kemampuan untuk menyimpan informasi juga merupakan bagian penting dari proses belajar. Retensi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, tetapi kemampuan untuk memperoleh informasi kemudian dan bertindak sangat penting untuk belajar.

    * Reproduksi:
      Setelah Anda memperhatikan model dan mempertahankan informasi, sekarang saatnya untuk benar-benar melakukan perilaku Anda mengamati. praktek lebih lanjut tentang perilaku belajar mengarah pada perbaikan dan kemajuan keterampilan.

    * Motivasi:
      Akhirnya, agar observasional belajar menjadi sukses, Anda harus termotivasi untuk meniru perilaku yang telah dimodelkan. Penguatan dan hukuman memainkan peran penting dalam motivasi. Meskipun mengalami motivator ini dapat sangat efektif, sehingga dapat mengamati pengalaman lain beberapa jenis penguat atau hukuman. Misalnya, jika Anda melihat mahasiswa lain dihargai dengan kredit tambahan karena kelas tepat waktu, Anda mungkin mulai muncul beberapa menit lebih awal setiap hari.




DAFTAR PUSTAKA


Suryono Dan Hariyanto, 2001, Belajar Dan Pembelajaran, Bandung:  PT Remaja Rosdakarya.
Sukmadinata, Nana Syaodih, 2004, Landasan Psikologi: Proses Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
http:Wikipedia 1 April 2012

MASALAH-MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA OLEH KELOMPOK VII


KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum. Wr. Wb...
Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan semua nikmat serta karunia-Nya, sehingga kita masih bisa merasakan nikmat-nikmat–Nya sampai saat sekarang ini,.
Yang kedua kalinya marilah kita bershalawat dan bersalam keharibaan junjungan Alam Baginda besar kita Rasulallah saw yang telah menyatukan ummat islam dari ujung masyrik sampai ujung magrhib serta merubah peradaban dunia dari Zaman kekafiran menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan juga sebagai salah seorang The Best Leader di Dunia sampai akhirat .yang sampai saat sekarang ini dan nanti menjadi panutan semua ummat manusia wabil khusus kita sebagai orang islam.
            Makalah ini kami susun untuk menunjang kegiatan perkuliahan dan menjadi bukti kesadaran kami sebagai seorang Mahasiswa untuk mengerjakan berbagai macam tugas yang telah ditanggungkan kepada kami. Dan kami juga berterima kasih kepada teman – teman kelompok yang telah membantu kami dalam kelancaran pembuatan makalah ini.
            Akhirnya, kami berharap Makalah ini dapat menjadi salah satu sarana belajar bagi semua Mahasiswa dan dapat berguna bagi kita semua. Namun makalah ini sangatlah jauh dari kata kesempurnaan oleh karena itu kami mengharapkan kritikan dan kontribusi teman-teman sekalian guna kemajuan kita bersama.
Sekian
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb                                                   
Mataram, 2 Mei 2012







DAFTAR ISI

Cover........................................................................................................................................... (1)
Kata Pengantar........................................................................................................................... (2)
Daftar Isi...................................................................................................................................... (3)
Bab I Pendahuluan……………………………………………………………………………………….(4)
A.      Latar Belakang.................................................................................................................(4)
B.      Rumusan Masalah………………………………………………………………………………..(4)
Bab II Pembahasan……………………………………………………………………..………………..(5)
A.      Masalah-masalah Pendidikan di Indonesia……………………………………………………(5)
1.       Masalah partisipasi pendidikan...................................................................................(5)
2.       Masalah efisiensi pendidikan........................................................................................(5)
3.       Masalah Evektivitas Pendidikan....................................................................................(5)
4.       Masalah relevansi pendidikan........................................................................................(6)

B.      Fakta dan Penyebab Masalah Pendidikan di Indonesia.....................................................(6)
C.     Solusi untuk Mengatasi Masalah Pendidikan di Indonesia.................................................(7)
Bab III Penutup...............................................................................................................................(9)
Daftar Pustaka................................................................................................................................(10)











BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah

            Pendidikan dalam bahasa Yunani berasal dari kata padegogik yaitu ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia.
Di Indonesia, Membicarakan tentang pendidikan mungkin tidak akan ada habis-habisnya. Ya, dengan keadaan yang ada sekarang ini, ditandai dengan demo di sejumlah tempat yang pada dasarnya menuntut pendidikan murah dan masalah-masalah pendidikan lainnya yang semakin kompleks. Keadaan yang memprihatinkan ini disebabkan oleh kualitas/mutu pendidikan yang semakin memburuk. Menurut survei
Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. 
Memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajuan teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain. Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Dengan perkembangan zaman di dunia pendidikan yang terus berubah dengan signifikan sehingga banyak merubah pola pikir pendidik, dari pola pikir yang awam dan kaku menjadi lebih modern. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia. Kita perlu mengkaji ulang tentang arti sesungguhnya dari pendidikan sehingga tujuan sebenarnya dari pendidikan itu dapat tercapai.

B.      Rumusan Masalah

1)       Apa arti dari pendidikan?
2)       Bagaimana pendidikan di Indonesia?
3)       Apa sajakah factor-faktor yang mempengaruhi pendidikan?
4)       Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?





BAB II
PEMBAHASAN

A.      Masalah-masalah Pendidikan di Indonesia
Upaya untuk mewujudkan visi dan misi tersebut mengalami kesulitan jika berbagai masalah dalam proses pendidikan muncul. Masalah dapat diartikan sebagai kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi. Jika apa yang terjadi atau yang tercapai dalam pendidikan tidak seperti yang diharapkan maka masalah pendidikan telah terjadi.
Masalah-masalah pendidikan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu: masalah partisipasi/kesempatan memperoleh pendidikan, masalah efisiensi, masalah efektivitas, dan masalah relevansi pendidikan (Redja Mudyahardjo, 2001: 496)

        I.            Masalah partisipasi pendidikan.

Masalah partisipasi atau kesempatan memperoleh pendidikan adalah rasio atau perbandingan antara masukan pendidikan (raw input) atau jumlah penduduk yang tertampung dalam satuan-satuan pendidikan. Keberadaan masalah ini dapat diketahui dari individu-individu yang mestinya menjadi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu tetapi kenyataannya tidak demikian. Misalnya saja di berbagai daerah masih banyak anak-anak yang mestinya menjadi peserta didik pada satuan pendidikan TK tetapi belum menjadi bagian dari satuan pendidikan tersebut. Hal demikian tentunya akan menimbulkan masalah pada saat mereka masuk sekolah dasar. Demikian juga banyaknya individu lulusan SMA yang tidak melanjutkan pendidikannya pada perguruan tinggi. Untuk bekerja mereka belum memiliki bekal yang mamadai.

      II.            Masalah efisiensi pendidikan.

Masalah efisiensi pendidikan berkenaan dengan proses pengubahan atau transformasi masukan produk (raw input) menjadi produk (output). Salah satu cara menentukan mutu transformasi pendidikan adalah mengitung besar kecilnya penghamburan pendidikian (educational wastage), dalam arti mengitung jumlah murid/mahasiswa/peserta didik yangputus sekolah, meng-ulang atau selesai tidak tepat waktu.
Jika peserta didik sebenarnya memiliki potensi yang memadai tetapi mereka tidak naik kelas, putus sekolah, tidak lulus berarti ada masalah dalam efisiensi pendidikan. Masalah efisiensi pendidikan juga terjadi di perguruan tinggi. Masalah tersebut dapat diketahui dari adanya para mahasiswa yang sebenarnya potensial tetapi putus kuliah dan gagal menyelesaikan pendidikannya pada waktu yang tepat.

    III.            Masalah efektivitas pendidikan
Masalah efektivitas pendidikan berkenaan dengan rasio antara tujuan pendidian dengan dengan hasil pendidikan (output), artinya sejauh mana tingkat kesesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang dihasilkan, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Pendidikan merupakan proses yang bersifat teleologis, yaitu diarahkan pada tujuan tertentu, yaitu berupa kualifikasi ideal. Jika peserta didik telah menyelesaikan pendidikannya namun belum menunjukkan kemampuan dan karakteristik sesuai dengan kualifiksi yang diharapkan berarti adalah masalah efektivitas pendidikan.

    IV.            Masalah relevansi pendidikan

Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau indtitusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja

B.      Fakta dan Penyebab Masalah Pendidikan di Indonesia

1. Fakta adanya masalah efisiensi, efektivitas, dan relevansi pendidikan

Dari ke empat masalah pendidikan sebagaimana disebutkan di atas, hanya masalah partisipasi yang sekarang mengecil. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya warga masyarakat akan pentingnya pendidikan dan semakin banyaknya satuan-satuan pendidikan yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan. Sedangkan ketiga masalah pendidikan berikutnya, yaitu masalah efisiensi, efektivitas, dan relevansi sampai sekarang masih terjadi dan ada kecenderungan bahwa masalah-masalah pendidikan tersebut semakin besar. Ketiga masalah pendidikan tersebut tidak saling terpisahkan. Masalah efiseinsi berpeluang menimbulkan masalah efektivitas, dan selanjutnya berpeluang pula menimbulkan masalah relevansi.
Masalah pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang serius. Bukti untuk hal itu dapat disimak dari peringkat Human Development Index (HDI) yang dipantau oleh UNDP yang menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia dari tahun 1996 bearada pada eringkat 102 dari 174 negara, tahun 1999 peringkat 105 dari 174 negara, dan tahun 2000 peringkat 109 dari 174 negara dan dalam prestasi belajar yang dipantau oleh IAEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di bidang kemampuan membaca siswa SD, Indonesia berada pada urutan ke-26 dari 27 negara; kemampuan matematika siswa SLTP berada di urutan 34 dari 38 negara; kemampuan bidang IPA siswa SLTP berada pada urutan ke 32 dari 38 negara (T. Raka Joni, 2005).

2. Faktor penyebab terjadinya masalah pendidikan di Indonesia

Masalah efisiensi pendidikan dapat terjadi karena berbagai faktor, yaitu tenaga kependidikan, peserta didik, kurikulum, program belajar dan pembelajaran, sarana/prasarana pendidikan, dan suasana sosial budaya. Demikian pula masalah efektivitas pendidikan juga dapat terjadi karena faktor tenaga kependidikan, peserta didik, kurukulum, program belajar dan pembelajaran, serta sarana/prasarana pendidikan.
Masalah relevansi pendidikan berhubungan dengan : tuntutan satuan pendidikan yang lebih atas yang terus meningkat dalam upaya mencapai pendidikan yang lebih berkualitas, aspirasi dan tuntutan masyarakat yang terus meningkat dalam upaya mencapai kehidupan yang berkualitas, ketersediaan lapangan pekerjaan di masyarakat. Kesenjangan terjadi jika komponen-komponen sistem pendidikan yang telah disebutkan di atas tidak mampu memenuhi tuntutan dan aspiranya yang ada.
C.     Solusi untuk Mengatasi Masalah Pendidikan di Indonesia dari Perspektif Manajemen Pendidikan.

1.       Tenaga Kependidikan sebagai figur utama proses pendidikan’

Masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan merupakan masalah yang sangat mendesak untuk mendapatkan pemecahan. Sebab jika masalah tersebut dibiarkan agar lahir generasi-genarasi penerus yang yang tidak bisa diandalkan untuk menghadapi kompetisi global. Jika hal demikian betul-betul terjadi maka bangsa Indonesia akan semakin terpuruk.
Upaya memecahkan masalah pendidikan hendaknya dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem. Dengan pendekatan ini pendidikan dipandang sebagai suatu sistem, suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berhubungan untuk mencapai suatu tujuan. Dari berbagai komponen system pendidikan, yaitu : peserta didik (raw input), instrumental inpu,t termasuk di dalamnya tenaga kependidkian, danenvironmental input, dari perspektif manajemen pendidikan komponen tenaga kependidikan merupakan komponen yang penting untuk dibahas.
Sampai sekarang dan juga untuk waktu-waktu yang akan datang figur tenaga kependidikan, termasuk para guru, kepala sekolah, dosen, dan pimpinan perguruan tinggi merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan meskipun konsep yang dianut sekarang adalah pendidikan berpusat pada peserta didik. Fakta menunjukkan bahwa meskipun raw input berkualitas tetapi jika ada masalah pada tenaga kependidikan, baik secara kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan rendahnya kualitas output .
Kenyataan sebagaimana tersebut di atas juga dipertegas dengan adanya fakta bahwa untuk menilai tingkat kelayakan atau kualitas institusi pendidikan salah satu komponen penting yang dijadikan sasaran adalah komponen tenaga kependidikan baik dari segi kuantitas dan terutama dari segi kualitas.
2. Tenaga kependidikan sebagai manajer pendidikan.

Tenaga kependidikan, terutama kepala sekolah atau pimpinan institusi pendidikan merupakan manajer-manajer pendidikan. Sebagai manajer pendidikan tugas utama mereka adalah mengupayakan agar kegiatan pendidikan dapat menghasilkan tujuan-tujuan pendidikan secara efektif dan efisien, melalui proses yaitu manajemen pendidikan.
Menurut Terry (Ngalim Purwanto, 2006: 7), manajemen adalah suatu proses tertentu yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan manusia dan sumber daya lainnya. Jika proses tersebut dilakukan dalam bidang pendidikan dan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan maka disebut sebagai manajemen pendidikan.
Manajemen merupakan inti dari administrasi (Ngalim Purwanto, 2006: 8). Sedangkan administrasi pendidikan adalah proses pengerahan dan pengintegrasian segala sesuatu, baik personil, spiritual, maupun matrial, yang bersangkuta paut dengan pencapaian tujuan pendidikan (Ngalim Purwanto, 2006: 3). Dengan demikian setiap tenaga kependidikan berperanan sebagai administrator. Dan sebagai administrator dirinya harus mampu berperan sebagai manajer pendidikan.
Dari perspektif manajemen pendidikan, masalah-masalah pendidikan dapat terjadi jika tenaga kependidikan tidak mampu menjalankan perannya dengan baik sebagai manajer pendidikan. Sebagai manajer pendidikan setiap tenaga kependidikan terlebih lagi untuk setiap pemimpin institusi pendidikan harus mengembangkan kemahiran dasar yang oleh Rex F. Harlow (Sarwoto, 1998: 47) dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a. Kemahiran teknis (technical skill) yang cukup untuk melakukan upaya dari tugas khusus yang menjadi tanggung jawabnya.
b. Kemahiran yang bercorak kemanusiaan (human skill), yang diperlukan untuk bekerja dengan sesamanya guna menciptakan keserasian kelompok yang efektif dan yang mampu menumbuhkan kerja sama diantara anggota-anggota bawahan yang dia pimpin.
c. Kemahiran menganalisis situasi dan permasalahan dengan konsep-konsep ilmiah yang relevan (conceptual skill), yang dapat dijadikan dasar dalam mengambil keputusan dan bertindak secara tetap.
3. Masalah pendidikan dan kualitas manajemen pendidikan.

Dari perspektif manajemen pendidikan, masalah pendidikan dapat terjadi jika kepala sekolah dan juga para guru tidak mampu menjadi manajer-manajer pendidikan yang baik. Masalah tersebut bisa saja terjadi karena : a. dirinya tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai konsep-konsep manajemen pendidikan, b.dirinya kurang memahami konsep-konsep dasar pendidikan, dan c. dirinya tidak atau kurang memiliki kemampuan dan karakteristik sebagai manajer pendidikan, sehingga tidak mampu menjalankan peran sesuai dengan statusnya. Masalah kualitas manajer pendidikan seperti itu bisa terjadi karena kesalahan dalam penempatan. Seorang yang sebenarnya belum atau tidak siap untuk menjadi pemimpin karena faktor tertentu dia diangkat menjadi kepala sekolah.
Masalah-masalah pendidikan juga dapat terjadi jika para pemimpin institusi pendidikan lebih banyak menempatkan dirinya sebagai kepala dan bukan sebagai pemimpin. Sebagai kepala mereka bertindak sebagai penguasa, hanya bertanggung jawab pada pihak atasan, dan melakukan tugas-tugas karena perimintaan atasan. Jika kepala sekolah lebih banyak bertindak sebagai kepala maka dirinya akan kesulitan memberdayakan semua personal yang ada agar tujuan pendidikan tercapai.
4. Solusi terhadap masalah pendidikan dengan manajemen kinerja guru.

Jika masalah-masalah pendidikan disebabkan oleh faktor manajemen maka upaya yang paling tepat untuk mencegah dan mengatasi adalah dengan meningkatkan kualitas manajemen pendidikan. Kualitas manajemen dapat meningkat jika para manajer-manajer pendidikan berusaha untuk meningkatkan kemampuannya.
Seringkali terlontar pernyataan bahwa kualitas pendidikan sulit untuk ditingkatkan karena kurangnya dukungan dana. Namun ada fakta yang menunjukkan bahwa dana yang cukup bahkan lebih ternyata tidak berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan. Hal demikian dapat terjadi karena kepala sekolah tidak atau kurang mampu memberdayakan semua sumber yang ada, khusunya sumber daya manusia. Demikian juga halnya dengan peranan guru di sekolah sebagai manajer pendidikan, hambatan yang terjadi adalah kurangnya kemampuan untuk memberdayakan semua sumber belajar yang ada agar tujuan pendidikan dapat tercapai.
Untuk mengatasi masalah di atas salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah melalui peningkatan manajemen kinerja kepala sekolah dan guru. Dalam perspektif manajemen, agar kinerja guru dapat selalu ditingkatkan dan mencapai standar tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance management) yang baik. .

sponsor